Budaya Indies
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia |
Penjajahan bangsa Belanda selama lebih dari 300 tahun di bumi Nusantara telah melahirkan suatu kebudayaan yang tercipta dari 2 kebudayaan yang sangat berbeda. Hasil dari akulturasi kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Indies. Kebudayaan Indies tercipta dari kebudayaan Barat (dalam hal ini Belanda) dan kebudayaan Timur (dalam hal ini lebih didominasi oleh kebudayaan Jawa) pada sekitar abad ke 19. Kebudayaan Indies ini mempengaruhi unsur - unsur kebudayaan yang ada pada saat itu. Unsur - unsur kebudayaan yang terpengaruh antara lain adalah bahasa, makanan, pakaian, kesenian, kepercayaan, gaya hidup, arsitektur.
Dalam kebudayaan Indies, bahasa yang digunakan adalah bahasa dengan kosakata dari bahasa Belanda namun menggunakan tata bahasa (grammar) bahasa Jawa. contohnya adalah :
1.Was Zoek Je Dann? 2.Zoeken was? 3.Menyang endi?
ketiga kalimat diatas sama sama memiliki arti "mau beli apa?". Kalimat pertama dan kedua terlihat mirip karena sama sama berbahasa Belanda. Tapi harap diperhatikan bahwa kalimat kedua tidak menggunakan tata bahasa yang sama dengan kalimat pertama (merupakan bahasa Belanda yang baik dan benar). Namun justru sama dengan tata bahasa kalimat ketiga (bahasa Jawa). Bahasa kalimat kedua adalah bahasa yang digunakan oleh sebagian besar bangsa Belanda pada saat itu (juga percakapan dalam bahasa Belanda dengan para pelayan atau golongan pribumi lain). Bahasa kalimat pertama cenderung digunakan dalam percakapan resmi atau percakapan dengan bangsa Belanda yang baru datang dari Negeri Belanda.
Makanan pun ikut terpengaruh. Banyak makanan "berbau Belanda" yang justru pada saat itu tidak dikenal di Negeri Belanda seperti Poffertjes (salah satu Poffertjes yang terkenal ada di restoran Puncak Pass), Risoles, Pastel, Klappertaart, Kroket, dll. Bangsa Belanda pun juga menyantap makanan yang "tidak lazim" bagi bangsa Belanda di Negeri Belanda seperti nasi, sayur asem, gado - gado, pisang goreng, dll. Tapi tetap menyantap roti dan keju. Jadi, bangsa Belanda di Hindia Belanda (sebutan Indonesia pada saat itu) dengan bangsa Belanda di Negeri Belanda memiliki kebudayaan (dalam hal ini, makanan) yang berbeda.
Percaya atau tidak, bangsa Belanda di Hindia Belanda gemar mengenakan kain Batik (wanitanya) dan celana Batik (prianya). Khususnya batik Pekalongan yang sangat digemari. Para pria sering mengenakan kaos oblong + celana batik + sandal jepit. Tidak ada bedanya dengan bangsa Indonesia (khususnya bangsa Betawi). Hal ini dilakukan mengingat pakaian tersebut sangat nyaman dikenakan. Para wanitanya juga seringkali mengenakan kain batik Pekalongan dan terkadang dipadukan dengan kebaya (kemudian kebaya ini berkembang menjadi kebaya Encim).
Salah satu peninggalan kebudayaan Indies yang masih dapat dilihat adalah keseniaan Tanjidor dari Betawi. Awalnya, kesenian ini diciptakan sebagai hiburan bagi bangsa Belanda ketika mereka sedang menikmati hidangan di meja makan. Semua alat musiknya diimpor langsung dari Eropa. Namun sekarang justru berkembang dan memperkaya kebudayaan Betawi. Tonil pun sebenarnya berasal dari kebudayaan Indies. Kata tonil juga berasal dari bahasa Belanda. Namun akhirnya bangsa Indonesia mengembangkannya sampai sekarang.
Bangsa Belanda adalah pembawa agama Kristen ke bumi Nusantara. Namun dalam hal ini, yang terpengaruh bukanlah agamanya melainkan pendukung - pendukung agamanya. Sebagai contoh, di dalam agama Kristen ada kepercayaan akan Yesus Kristus, Bunda Maria, dan Roh Kudus. Di Eropa, ketiga tokoh suciini dibuat dalam bentuk patung. Namun di dalam kebudayaan Indies, ketiga tokoh suci ini digambarkan dengan menggunakan wayang kulit dan dihiasi dengan tulisan Jawa (Honocoroko) yang bertuliskan pujian - pujian agama Kristen. Di Semarang, ada gereja peninggalan Belanda. Di dalamnya ada patung tokoh Jawa (dengan pakaian khas sejenis pakaian Sri Rama) yang sedang berlutut dan meletakkan kedua telapak tangannya yang dirapatkan di atas kepalanya (seperti orang menyembah. Patung ini memiliki sayap di punggungnya. Jika Anda berpikir ini patung Sri Rama atau salah satu Abdi Raja, Anda salah. Itu adalah patung Gabriel.
Bangsa Belanda di Hindia Belanda tidur dengan menggunakan guling sedangkan pada saat itu guling tidak dikenal di Negeri Belanda. Bangsa Belanda sangat gemar hidup bermewah - mewah. Hal itu dapat dilihat dari cara hidup mereka yang cenderung memiliki banyak pembantu / budak (bahkan tidak jarang yang jumlahnya mencapai 100 orang). Tiap budak memiliki tugas sendiri - sendiri seperti koki, tukang kebun, baby sitter, satpam, tukang cuci baju, tukang bersih bersih rumah, tukang membuang kotoran dari WC, dll. Ada pula pembantu wanita++ yang disebut juga dengan istilah Nyai (seperti Nyai Dasimah). Gaya hidup seperti ini tidak dikenal di Negeri Belanda (sekalipun bangsa Belanda di Negeri Belanda memiliki kekayaan yang sama dengan bangsa Belanda di Hindia Belanda). Di pagi hari bangsa Belanda di Hindia Belanda sarapan sambil dihibur oleh kelompok musik Tanjidor, sekitar pukul 10 pagi menikmati snack, pukul 12 siang makan siang, pukul 2 siang menikmati snack, sekitar pukul 4 sore berkuda / mengendarai kereta kuda berkeliling tanah kekuasaannya, pukul 7 malam makan malam. Semua dengan makanan yang super mewah dan lezat, pelayanan penuh, tanpa cela, menggiurkan bagi bangsa Eropa yang tinggal di Eropa.
Perhatikanlah bentuk bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang berada di daerah Jakarta Kota (seperti museum Sejarah Jakarta / Fatahillah, jembatan Kota Intan, Galangan kapal V.O.C, dll) dengan bangunan peninggalan Kolonial Belanda di luar daerah itu (rumah - rumah mewah yang belum dirombak di kawasan Menteng, bioskop Megaria, gedung P.L.N dekat Stasiun Gambir, Stasiun Beos, Gedung Arsip Nasional, Museum Tekstil, dll). Anda akan menemukan perbedaan yang cukup mencolok. Bangunan di daerah Jakarta Kota memiliki arsitektur yang sangat mirip dengan bangunan Belanda di Negeri Belanda (museum sejarah Jakarta memiliki arsitektur yang hampir sama persis dengan salah datu gedung di Belanda, Jembatan Kota Intan memiliki bentuk yang sangat mirip dengan jembatan di Amsterdam) sedangkan bangunan Belanda di daerah lain memiliki arsitektur unik yang tidak ada di negara manapun (termasuk Negeri Belanda) kecuali di Indonesia. Ini adalah bangunan dengan arsitektur Indies. Cirinya adalah memadukan berbagai elemen Timur dengan Elemen Barat, memiliki luas tanah yang sangat besar. Gedung Arsip Nasional misalnya, memiliki pintu dari kayu jati yang kokoh khas Belanda namun memiliki lubang angin di atas pintu yang dibuat dengan ukiran khas Jepara. Salah satu koleksi di Museum Sejarah Jakarta adalah tempat tidur / ranjang yang tidak memerlukan kasur karena dialasi dengan anyaman rotan yang membentuk lubang - lubang yang sekarang lazim ditemui pada senderan kursi rotan. Di Museum Sejarah Jakarta ada penyekat ruangan berbentuk elips yang memanjang dari atas ke bawah yang diukir dengan ukiran khas Jepara namun memiliki motif ukiran Cupid (dewa cinta Yunani).
Berbagai keterangan di atas menggambarkan budaya Indies yang pernah ada di bumi Hindia Belanda. Tidak hanya di kalangan orang Jawa dan Betawi, di kalangan orang Sunda juga ada budaya Indies yang berbeda dengan budaya Indies di kalangan orang Jawa dan Betawi.ppg.Setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas dalam budaya Indies yang berkembang.