Pembicaraan Pengguna:Yulius nakmofa

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Sekali lagi bencana. Bencana seolah tak pernah putus menghantam bumi NTT. Di Kelurahan Lewoleba Barat Kabupaten Lewoleba, jembatan Waikomo (jembatan terpanjang di Kabupaten Lembata) putus diterjang banjir (PK, 6/3). Jalur trans darat Ende – Maumere lumpuh selama 11 jam akibat longsor di Km 19 sebelah timur Ende (PK, 6/3). Masyarakat 29 desa di sepanjang aliran Sungai Benanain Kabupaten Belu saat ini mengalami kesulitan air bersih akibat sumur-sumur sumber air minum masyarakat tercampur lumpur bawaan luapan Sungai Benanain (PK, 6/3). Naas yang sama dialami oleh masyarakat Takari, Oesao, dan Tarus Kabupaten Kupang. Banjir menghancurkan areal pertanian, pemukiman, dan menghayutkan ternak (PK, 6/3). Entah berapa hitungan kerugian dalam kalkulasi rupiah. Yang pasti, bencana telah merusakkan sistem penghidupan masyarakat. Prihatin. Perasaan ini wajar muncul. Apalagi sebagian besar korban bencana di NTT adalah masyarakat kecil. Kita prihatin sebab bukan hanya terpuruk oleh berbagai konstruksi sosial, masyarakat kecil NTT pun terpuruk oleh hantaman bencana alam (natural disaster). Masyarakat yang selama dibingungkan oleh berbagai ketidakjelasan hukum harus pula dibingungkan oleh hitungan kerugian akibat terjangan angin kencang. Masyarakat yang selama ini menjadi korban permainan politik harus pula menjadi korban tanah longsor. Masyarakat yang selama ini harus menanggung utang akibat korupsi besar-besaran harus pula menanggung beban kerugian akibat rusaknya areal pertanian akibat banjir. Kalau boleh disebut, bencana di NTT bukan hanya “bencana” semata tapi juga disaster-class (bencana strata sosial) karena kebanyakan korban berasal dari golongan masyarakat kecil. Kembali ke perasaan prihatin. Apakah rasa prihatin lalu mendatangkan bantuan fisik untuk korban bencana dianggap sudah cukup? Tidak!! Kita bukan penderita amnesia history. Kita sebaiknya belajar bahwa penanganan bencana bukan sekadar pemberian bantuan darurat maupun rehabilitasi-rekonstruksi teknis semata. Penanganan bencana harus membangun kepekaan terhadap bencana dan terintegrasi dalam seluruh keperibadian individu dan atau masyarakat serta lingkungan fisik (alam). Itu berarti, penanganan bencana harus terintegrasi dalam keseluruhan pembangunan sebagai proses menjadikan manusia lebih manusia dan proses yang menempatkan masyarakat kecil sebagai subyek dan pelaku utama. Membentuk penanganan bencana yang efektif memang bukan pekerjaan mudah. Sehingga langkah pertama yang harus diambil adalah menyepakati panduan yang menjamin adanya proses ke arah penanganan bencana yang terintegrasi dalam keseluruhan proses pembangunan.

Tiga tahun belakangan ini sekelompok akademisi, pemerhati penanganan bencana dari sektor pemerintah, ilmuwan, dan aktivis LSM (nasional dan internasional) yang terhimpun dalam Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) sedang memperjuangkan adanya aturan mengenai mekanisme dan proses penanganan bencana yang secara umum berlaku di seluruh Indonesia. Mekanisme dan proses penanganan tersebut diharapkan terwujud dalam sebuah undang-undang (Undang-undang Penanganan Bencana/UU PB). Saat ini, MPBI telah merampungkan dan menyerahkan draft naskah akademik dan Rancangan Undang-Undang Penanganan Bencana (RUU PB) ke pihak legislatif untuk dibahas lebih lanjut. Keinginan untuk memiliki mekanisme dan proses penanganan bencana yang diatur dalam undang-undang dilatari oleh keprihatinan terhadap berbagai kenyataan sebagai berikut; Pertama, sejak tahun 1997 – 2004 telah terjadi peningkatan eskalasi bencana baik frekuensi, jenis bencana, maupun dampak bencana; Kedua, sementara di sisi lain tidak terjadi peningkatan kemampuan penanganan bencana. MPBI, berdasarkan data Bakornas 2004, menyebutkan peristiwa bencana 1997-2004 menyebabkan kerugian fisik mencapai Rp 888.476.296.592 (belum termasuk kerusakan fisik akibat bencana gempa tektonik dan tsunami Aceh). Di samping itu, setiap peristiwa bencana sekecil apapun memiliki kemungkinan untuk merusakkan sistem penghidupan masyarakat yang sulit dikalkulasi dalam hitungan rupiah. Ketiga, dilihat dari aspek geografis dan klimatologis, aspek geologis, dan aspek demografis, wilayah RI memiliki banyak kerentanan (vulnerability) yang berisiko menyebabkan keberulangan bencana (disaster) ketika bertemu ancaman (hazard). Bila tidak ditangani secara tepat, republik ini akan terus berputar dalam siklus bencana dan kerugian yang tak tertangani. Apa kaitan UU PB dengan NTT? Issue kebutuhan akan UU Penanganan Bencana memang belum luas terdengar di NTT. Hal ini mungkin disebabkan, pertama, issue ini, harus diakui, kalah seksi dibanding issue lainnya seperti issue hukum/kriminal, politik dll. Kedua, harus pula diakui, sosialisasi kebutuhan akan UU Penanganan Bencana masih sangat terbatas. Bulan November 2005 lalu, sosialisasi RUU PB sempat dilakukan di NTT. Tapi itu pun hanya sekali di Kupang dan hanya melibatkan beberapa kelompok masyarakat dan individu. Terlepas dari kurang seksi-nya issue penanganan bencana dan sosialisasi yang masih terbatas, kondisi wilayah NTT berdasarkan anatomi bencana mengharuskan adanya proses dan mekanisme penanganan secara tepat. Anatomi bencana yang paling sederhana menguraikan peristiwa bencana sebagai hasil pertemuan antara ancaman dan kerentanan (Blaike et. al. 1994). Ancaman dapat didefinisikan sebagai faktor ekstrinsik yang berpotensi menjadi bencana dan berpeluang menimbulkan gangguan atau kerusakan/kehilangan nyawa, harta-benda serta lingkungan. Ancaman bisa berupa fenomena alam maupun buatan manusia. Sedangkan kerentanan merupakan kelemahan yang secara intrinsik ada dalam diri dan atau lingkungan tempat tinggal manusia (misalnya: faktor-faktor hambatan fisik, ekonomi, perilaku/motivasi, sosial-kelembangaan). Semakin besar ancaman dan kerentanan akan semakin besar pula risiko bencana. Risiko bencana bisa diminimalisir bila masyarakat (termasuk pula lingkungannya) memiliki kapasitas memadai untuk menanggulangi risiko bencana. Kapasitas dalam pengertian ini dapat didefinisikan sebagai kekuatan dan sumber daya (biasanya kapasitas dikategorikan dalam kapasitas fisik, ekonomi, sosial-kelembagaan, perilaku/motivasi) pada individu dan atau kelompok individu (masyarakat) yang memungkinkan individu dan atau kelompok individu tersebut bisa bertahan, mencegah, siap, mengurangi dampak, atau cepat pulih dari bencana. Bagaimana kondisi NTT berdasarkan anatomi bencana di atas? Catatan sejarah bencana NTT 1997 – 2004 (Perkumpulan Masyarakat Penanganan Bencana/PMPB Kupang, 2005) menunjukkan sekurangnya terdapat lima jenis ancaman yang setiap tahun berpeluang menjadi bencana. Lima jenis ancaman tersebut antara lain: kekeringan (37%), hama tanaman (18%), banjir (17%), wabah epidemi (9%), dan pembatasan akses hidup rakyat (5%) selalu berulang setiap tahun. Selain ancaman-ancaman di atas, berdasarkan kondisi fisik, sosial-kelembagaan, motivasi/perilaku, ekonomi, wilayah NTT memiliki kerentanan-kerentanan tertentu (secara umum, kerentanan wilayah NTT sama seperti kerentanan pada wilayah Indonesia lainnya), yaitu; pertama; kerentanan geografis dan klimatologis menyebabkan NTT menjadi salah satu provinsi yang sangat berpotensi sekaligus rawan bencana, antara lain kekeringan, banjir, tanah longsor, dan badai. Kedua; kerentanan geologis. Nusa Tenggara Timur berada di antara tiga lempeng yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo Australia dan lempeng Pasifik. Tataran tersebut sangat menguntungkan dilihat dari sumber daya mineral, karena terdapat jebakan mineral antara lain logam dan non logam, dan bahan tambang lainnya. Namun hal lain, pertemuan antara tiga lempeng ini menyebabkan tingginya dinamika geologi. Pada sisi yang paling buruk, tingginya dinamika geologi memungkinkan NTT – secara fisik – sangat rentan terhadap bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api dan tanah longsor/gerakan tanah, dan banjir. Ketiga; kerentanan demografis. Jumlah penduduk NTT sebanyak 4.165.568 jiwa dengan laju pertambahan penduduk 1,79% per tahun (BPS NTT, 2004). Laju pertambahan penduduk ini tidak diikuti dengan ketersediaan lapangan kerja. Tercatat tahun 2004, jumlah penduduk miskin NTT sebanyak 1.165.900 jiwa (BPS NTT dan P4B, 2004). Laju pertumbuhan penduduk ini tidak dibarengi perbaikan dan peningkatan sumber daya manusia. Jumlah angkatan kerja terbanyak di NTT berkualitas SD (38,46%), SMP 9,23%, SMA 10,27%, sedang Perguruan Tinggi hanya mencapai 2,77% (BPS NTT, 2004). Selain itu, penyebaran prasarana pelayanan publik terutama kesehatan dan air bersih belum menjangkau seluruh wilayah NTT. Data tahun 2003 menunjukkan sebanyak 46,80% penduduk NTT hidup tanpa akses air bersih dan 32,80% penduduk NTT hidup tanpa akses kesehatan yang memadai (Dinkes NTT, 2004). Keempat; kerentanan relasi antara manusia dan keseimbangan ekologis. Akumulasi dari rendahnya kualitas sumber daya manusia, terbatasnya fasilitas pelayanan publik, minimnya akses informasi, pergeseran prioritas kepentingan tiap individu ketika berbenturan arus globalisasi dan kapitalisme menyebabkan berbagai perubahan dan pergeseran dalam masyarakat. Yang paling nampak, rumusan kekerabatan dan relasi sosial berubah secara ekstrem menjadi semata pendekatan individual. Lingkungan dilihat sebagai satu-satunya wadah yang harus dikeruk. Pendekatan terhadap lingkungan, yang harusnya merupakan keberimbangan antara kepentingan ekonomis dengan kepentingan ekologis, berubah secara drastis. Keberadaan lingkungan hanya pada nilai ekonomis semata. Gambaran berbagai jenis ancaman dan kerentanan ini setidaknya mendaulat NTT sebagai wilayah rentan bencana (disaster prone-area). Awal 2006 ini saja NTT telah mengalami berbagai peristiwa bencana. Jika demikian, Apa yang kita harapkan dari UU PB? Terlalu berlebihan bila menyakini NTT bisa bebas dari bencana hanya dengan mengandalkan deretan huruf demi huruf UU PB. Namun setidaknya keberadaan UU PB (bila disetujui) merupakan media dan proses peningkatan kapasitas semua pihak di NTT untuk; Pertama, memberikan dasar formal untuk tindakan penanganan bencana. Undang-undang memberikan dukungan resmi untuk rencana-rencana, penataan-penataan kelembagaan, tindakan-tindakan kesiapan, tindakan tanggap darurat, dsb. Kedua, membagi tanggung jawab secara hukum; dan ini membantu memastikan bahwa tanggung jawab tersebut akan dilaksanakan secara benar. Ketiga, menimbulkan efek nasional, sehingga memastikan bahwa semua tataran struktur penanganan bencana mendapatkan manfaat dari dukungan yang disediakan; Keempat, menyediakan keruntutan berpikir terhadap hal-hal yang diperlukan untuk penanganan bencana; Kelima, memberikan kewajiban yang luas kepada pemerintah untuk memikul tanggungjawab untuk sejauh mungkin melindungi negara dan warga negara-nya dari akibat bencana dan kepada organisasi-organisasi dan orang-perorangan yang mungkin terkena berbagai dampak bencana; Keenam, memberikan jaminan atas hak-hak yang melekat pada warga negaranya, yang dimungkinkan hilang atau lepas pada saat terjadinya bencana.