Ahlul Bait
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
![]() |
Kenetralan sebagian atau keseluruhan artikel ini dipertentangkan. Silakan melihat pembicaraan di halaman diskusi artikel ini. |
![]() |
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, Anda boleh menghapus pesan ini. |
Artikel ini adalah bagian dari seri Islam |
Rukun Islam |
Syahadat · Shalat · Zakat · Puasa · Haji |
Rukun Iman |
Allah · Kitab · Malaikat · |
Nabi · Kiamat · Takdir |
Tokoh Islam |
Muhammad SAW |
Nabi & Rasul· Para Sahabat· Ahlul Bait |
Kota Suci |
Mekkah · Madinah · Yerusalem |
Najaf · Karbala · Kufah |
Kazimain · Mashhad · Samarrah |
Hari Raya |
Hijrah · Idul Fitri · Maulid |
Idul Adha · Asyura · Ghadir Khum |
Arsitektur |
Mesjid · Menara · Mihrab · Ka'bah |
Arsitektur Islam |
Jabatan Fungsional |
Khalifah ·Ulama ·Muadzin · Imam · Mullah |
Ayatullah · Mufti |
Teks & Hukum |
Al-Qur'an · Hadits · Sunnah |
Fiqih · Fatwa · Syariat |
Aliran |
Sunni: Hanafi · Hambali · Maliki · Syafi'i |
Syi'ah: Dua Belas Imam · Ismailiyah · Zaiddiyah |
Lain-lain: Ibadi · Khariji'ah · Murji'ah · Mu'taziliyah |
Gerakan |
Ikhwanul Muslimin · Tasawuf Wahhabisme · Salafiyah |
Ormas Islam |
Nahdlatul Ulama · Muhammadiyah Persis · MUI |
Lihat Pula |
Indeks artikel tentang Islam |
|
Ahlul-Bait (Bahasa Arab: أهل البيت) adalah istilah yang berarti "Orang Rumah" atau keluarga. Dalam tradisi Islam istilah itu mengarah kepada keluarga Muhammad. Terjadi perbedaan dalam penafsiran baik Muslim Syi'ah maupun Sunni. Syi'ah berpendapat bahwa Ahlul Bait mencakup lima orang yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husain sebagai anggota Ahlul Bait (di samping Muhammad). Sementara Sunni berpendapat bahwa Ahlul Bait adalah anggota keluarga Nabi Muhammad, meliputi istri-istri beliau, mertua-mertua juga menantu-menantu beliau hingga cucu-cucu beliau.
Daftar isi |
[sunting] Perbedaan Interpretasi Syi'ah dan Sunni
[sunting] Syi'ah
Kaum Syi'ah, khususnya Mazhab Dua Belas Imam menafsirkan bahwa Ahlul Bait adalah "anggota rumah tangga" Nabi Muhammad dan mempercayai bahwa mereka terdiri dari: Muhammad, Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan bin Ali, dan Husain bin Ali.
Kaum Syi'ah percaya bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait yang disucikan sesuai dengan ayat tathîr (penyucian) (QS. Al-Ahzab [33]:33), adalah mereka yang termasuk dalam ahlul-kisa yaitu Rasulullah saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain serta 9 imam berikutnya yang merupakan keturunan dari Husain.
[sunting] Hadist Shahīh dari Sunni yang mendukung keutamaan Ahlul Kisa
Shahīh Muslim, vol. 7, hal. 130
- A'isyah berkata, "Pada suatu pagi, Rasulullah saw keluar rumah menggunakan jubah (kisa) yang terbuat dari bulu domba. Hasan as datang dan kemudian beliau saw menempatkannya di bawah kisa tersebut. Kemudian Husain as datang dan masuk ke dalamnya. Kemudian Fatimah as ditempatkan oleh Rasulullah saw di sana. Kemudian Ali as datang dan Rasulullah saw mengajaknya di bawah kisa dan berkata,
- "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (QS. Al-Ahzab [33]:33)[1]
Sunan at-Turmudzi, Kitab al-Manâqib
- Ummu Salamah mengutip bahwa Rasulullah saw menutupi Hasan, Husain, Ali dan Fatimah dengan kisa-nya, dan menyatakan, "Wahai Allah! Mereka Ahlulbaitku dan yang terpilih. Hilangkan dosa dari mereka dan sucikanlah mereka!"
- Ummu Salamah berkata, "Aku bertanya pada Rasulullah saw, Wahai Rasul Allah! Apakah aku termasuk di dalamnya?" Beliau menjawab, "Engkau berada dalam kebaikan (tetapi tidak termasuk golongan mereka)."
at-Turmudzi menulis di bawah hadits ini, "Hadits ini shahīh dan bersanad baik, serta merupakan hadits terbaik yang pernah dikutip mengenai hal ini."[2]
Sesuai dengan hadits di atas, Syi'ah berpendapat bahwa istri-istri Nabi tidak termasuk dalam Ahlul Bait, sebagaimana pendapat Sunni yang memasukkan istri-istri Nabi.
[sunting] Sunni
Kaum Sunni percaya bahwa pendapat kaum Syi'ah mengenai Ahlul Bait adalah bias dan secara etika keliru. Kaum Sunni beranggapan bahwa istilah Ahlul Bait memang hanya mencakup keluarga Ali, akan tetapi keluarga Nabi Muhammad mencakup seluruh umat Muslim yang taat, sebab hubungan kekeluargaan tersebut adalah berdasarkan Takwa pada kepercayaan Islam, dan bukan berdasarkan pada darah keturunan. Kaum Sunni percaya bahwa setiap orang yang taat adalah bagian dari Ahlul Bait, dan bahwa beberapa orang secara khusus disebutkan sebagai bagian daripadanya. Beberapa orang ini, adalah istri-istri Nabi Muhammad, yang disebutkan di dalam Al Qur'an sebagai bagian dari Ahlul Bait.
[sunting] Sufi
[sunting] Ahlul Kisa
Kaum Sufi yang memiliki keterikatan dengan ahlul-kisa, yaitu keluarga Ali bin Abu Talib k.w.[3] dan Fatimah az-Zahra baik secara zhahir (faktor keturunan) dan secara bathin (do'a dan amalan) sangat mendukung keutamaan Ahlul Kisa. Tetapi berpendapat Ahlul Bait bukan hanya Ahlul Kisa sesuai dengan hadits Tsaqalayn yaitu Ahlul bait adalah mereka yang haram menerima zakat yaitu keluarga Ali, Aqil dan Ja'far (yang merupakan putra-putra Abu Thalib) dan keluarga Abbas (Hadits Shahih Muslim dari Zaid bin Arqam). Tetapi kaum Sufi dalam hal kekhalifahan memiliki perbedaan tajam dengan kaum Syi'ah.
[sunting] Kekhalifahan
Kaum Sufi berpendapat kekhalifahan ada 2 macam, yaitu :
-
- Khalifah secara zhahir (Waliyyul Amri, Surat An Nisa ayat 59 "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." atau mereka yang menjadi Kepala Pemerintahan; dan
- Khalifah secara bathin (Waliyyul Mursyid,Surat Al Kahfi ayat 17) "Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk (Waliyyan Mursyida) kepadanya." atau mereka yang menjadi Pembina Ruhani umat Islam.
Ke-khalifah-an yang zhahir boleh saja dipegang oleh orang Muslim yang kurang beriman atau Mukmin tapi kurang bertaqwa, dalam keadaan darurat atau karena sudah taqdir yang tak bisa dihindari. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perkataan ‘athii’ sebelum ‘waliyyul amri’, kata ‘athii’ atau taat-lah hanya ditempelkan kepada ‘Allah’ kemudian ditempelkan kepada ‘Rasul’ sehingga lafadz lengkapnya menjadi,”Athiiulloho wa athiiurosuula wa ulil amri minkum”. Berarti taat yang mutlaq hanya kepada Allah dan Rasulnya. Taat kepada Ulil Amri dapat dilakukan dengan syarat ia taat lebih dulu kepada Allah dan Rasulnya. Memilih seorang Pemimpin atas dasar ke-taat-an kepada Allah adalah hal yang logis dan jauh lebih mudah dari pada memilih seorang Pemimpin atas dasar 'maksum' atau ke-suci-an. Karena 'taat' kepada Allah adalah suatu yang dapat terlihat (kurang lebihnya) didalam kehidupan seseorang.
Dengan kata lain ayat ini (dalam pandangan kaum Suni dan kaum Sufi) menunjukkan tidak-adanya syarat ‘maksum’ bagi Waliyyul Amri. Sangat mungkin ini adalah petunjuk Allah bagi Umat Islam untuk menerima siapapun Pemimpinnya di setiap zaman, selama ia taat kepada Allah dan Rasulnya, karena sesuai dengan akal sehat yang dimiliki umat manusia bahwa ‘tak ada yang mengetahui hamba Allah yang suci atau ‘maksum’, kecuali Allah sendiri.’
Tapi ke-khalifah-an bathin, karena harus mempunyai syarat ke-wali-an dalam pengertian bathin, tak mungkin jatuh, kecuali kepada orang Mukmin yang ber taqwa dan dicintai Allah, surat Yunus 62-64. Ke-khalifah-an bathin atau jabatan Waliyyul Mursyid adalah mereka yang mempunyai ilmu dan karakter (kurang-lebih) seperti Nabi Khidir di dalam Surat Al Kahfi. Hikmah tidak disebutkannya kata 'Nabi Khidir' juga boleh jadi mengisyaratkan setiap zaman akan ada manusia yang terpilih seperti itu.
Didalam sejarah tarekat kaum Sufi, para Wali Mursyid (sangat kebetulan terjadi dengan kehendak Allah) sebagian besarnya adalah keturunan Ali dari Fatimah baik melalui Hasan dan Husain. Menurut kaum Sufi memaksakan ke-khalifah-an zhahir hanya untuk keluarga Ali adalah suatu yang musykil/mustahil karena bila menolak 3 khalifah sebelumnya (yang telah disetujui oleh mayoritas) berarti membuat perpecahan dalam umat Islam, juga bertentangan dengan prinsip akal sehat, karena boleh jadi seorang kurang ber-taqwa tapi dalam hal pemerintahan sangat cakap. Sedangkan seorang yang ber-taqwa justru mungkin saja tidak menguasai masalah pemerintahan.
Bila menganggap Imamah adalah Khalifah Bathin mungkin saja bisa, tapi membatasi hanya 12 bertentangan dengan banyak hadits shahih tentang para Wali Allah yang tidak pernah disebut dari keluarga tertentu, apalagi dengan pembatasan jumlahnya. Idealnya memang seorang Khalifah zhahir (Waliyyul Amri) dipilih dari mereka yang juga menjabat Khalifah bathin (Waliyyul Mursyid). Tapi pertanyaannya siapakah yang mengetahui Wali-wali Allah, apalagi yang berderajat Waliyyul Mursyid, kalau bukan Allah sendiri.
[sunting] Penafsiran Tentang 12 Khalifah
Dengan pemahaman ini tampaknya 12 khalifah yang adil didalam shahih Muslim dari Sahabat Jabir adalah mereka para Khalifah zhahir (Waliyyul Amri) yang besar (tergolong paling utama) dari umat Islam yang dalam pandangan Allah juga telah menjabat Waliyyul Mursyid. Suatu kebetulan yang bila dihitung dengan ilmu probabilitas adalah sangat kecil, yang terjadi benar-benar dengan rencana Allah. Siapa saja orangnya hanya Allah yang tahu, terbukti Sahabat Jabir melihat Rasulullah ber-isyarat yang menandakan tidak sembarang orang boleh tahu dan bukan pengetahuan yang harus diketahui umum, dan ayah Jabir menafsirkan 12 khalifah itu dari golongan (keturunan) Quraisy. Penafsiran seorang Sahabat Rasul SAW boleh benar atau salah, yang jelas keturunan Ahlul Bait pasti keturunan Quraisy.
Seandainya masalah 12 Khalifah atau oleh suatu kaum disebut 12 Imam adalah suatu yang harus diketahui namanya apalagi harus diikuti sebagai Waliyyul Amri, mustahil Rasul SAW ber-isyarat. Karena sesuatu yang harus diikuti umat Islam apalagi masalah kepemimpinan, Rasul SAW wajib menyampaikannya dan menjelaskannya dengan detail sehingga umat menjadi paham dan tidak timbul perpecahan. Apalagi Waliyyul Amri harus ada setiap masa, sedangkan 12 orang bergantian tak akan cukup untuk memenuhi semua generasi umat Islam, yang sampai sekarang saja (pasca Rasul SAW wafat) sudah 14 abad atau lebih kurang 40 generasi Umat Islam. Bila menganggap 12 Khalifah tersebut hanya dalam pengertian bathin (Waliyyul Mursyid) seperti disebut dimuka bertentangan dengan ayat Qur'an (Yunus 62-64) dan banyak hadits shahih yang tidak menyebut asal-usul keluarga para Wali Allah apalagi membatasi jumlahnya.
Sehingga kalau tafsir ayahanda Jabir benar maka 12 khalifah itu keturunan ahlul bait atau Quraisy lain yang bukan ahlul bait , dan kaum Suni (yang diikuti oleh banyak kaum Sufi) berpendapat 4 Khulafaurrasyidin adalah 4 pertama dari 12 khalifah adil tersebut, siapa yang 8 lagi hanya Allah yang tahu, juga zaman masing-masingnya. Sedangkan yang ke 12 adalah khalifah akhir zaman yang adil (dalam hadis Muslim yang membagi-bagikan emas tanpa menghitung-hitungnya lagi) yang juga disebut Imam Mahdi oleh kaum Syi'ah. Satu lagi yang harus diingat, keturunan Ahlul bait baik dari Hasan dan Husain saat ini sudah tidak bisa dihitung dan menyebar dari Maroko hingga Indonesia.
[sunting] Siapa yang disebut Ahlul-Bait?
[sunting] Menurut sebagian Sunni dan Salafi
Makna “Ahl” dan “ahlul bait” dalam pengertian leksikal berarti penghuni rumah, termasuk isteri dan anak-anak. Pengertian ini dianut sebagian kalangan Sunni dan Salafi, yang menyatakan bahwa ahlul bait Nabi mencakup pula istri-istri beliau, mertua-mertua juga menantu-menantu beliau hingga cucu-cucu beliau.
[sunting] Menurut Sufi dan sebagian Sunni
Kalangan Sufi dan sebagian kaum Sunni menyatakan bahwa Ahlul-Bait adalah anggota keluarga Nabi Muhammad SAW yang dalam hadits disebutkan haram menerima zakat seperti keluarga Ali dan Fatimah beserta putra-putra mereka (al-Hasan dan al-Husain) dan keturunan mereka. Juga keluarga Abbas bin Abdul-Muththalib dan keluarga Ja'far serta keluarga Aqil yang sama dengan Ali juga merupakan putra-putra Abu Thalib.
Adapun risalah lengkap sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim adalah sebagai berikut:
- Yazid bin Hayyan berkata, "Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim. Setelah kami duduk, Husain berkata kepada Zaid bin Arqam, 'Hai Zaid, kau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Kau melihat Rasulullah, kau mendengar sabda beliau, kau bertempur menyertai beliau, dan kau telah shalat dengan diimami oleh beliau. Sungguh kau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Karena itu, sampaikan kepada kami hai Zaid, apa yang kau dengar dari Rasulullah!'"
- "Kata Zaid bin Arqam, 'Hai kemenakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah kamu memaksaku untuk menyampaikannya.'"
- "Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan, 'Pada suatu hari Rasulullah berdiri dengan berpidato di suatu tempat air yang disebut Khumm antara Mekkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda, Ketahuilah saudara-saudara bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Tuhanku (malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan untuk kalian dua hal yang berat, yaitu: 1) Al-Qur'an yang berisi petunjuk dan cahaya, karena itu laksanakanlah isi Al-Qur'an dan pegangilah. (Beliau mendorong dan mengimbau pengamalan Al-Qur'an). 2) Keluargaku. Aku ingatkan kalian agar berpedoman dengan hukum Allah dalam memperlakukan keluargaku (tiga kali)".
- Husain bertanya kepada Zaid bin Arqam, "Hai Zaid, siapa ahlul bait (keluarga) Rasulullah itu? Bukankah istri-istri beliau ahlul baitnya?"
- Kata Zaid bin Arqam, "Istri-istri beliau adalah ahlul baitnya, tetapi ahlul bait beliau adalah orang yang diharamkan menerima zakat sampai sepeninggal beliau."
- Kata Husain, "Siapa mereka itu?"
- Kata Zaid bin Arqam, "Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja'far dan keluarga Abbas."
- Kata Husain, "Apakah mereka semua diharamkan menerima zakat?"
- Jawab Zaid, "Ya."[4]
[sunting] Menurut Syi'ah
Sementara kalangan Syi’ah lebih megkhususkan lagi ahlul-bait Nabi SAW hanya mencakup Ali dan istrinya Fatimah, putri Nabi SAW beserta putra-putra mereka yaitu al-Hasan dan al-Husain (4 orang ini bersama Nabi SAW juga disebut Ahlul-Kisa atau yang berada dalam satu selimut) dan keturunan mereka.
Hal ini diperkuat pula dengan hadist-hadist seperti contoh berikut:
-
- Aisyah menyatakan bahwa pada suatu pagi, Rasulullah keluar dengan mengenakan kain bulu hitam yang berhias. Lalu, datanglah Hasan bin Ali, maka Rasulullah menyuruhnya masuk. Kemudian datang pula Husain lalu beliau masuk bersamanya. Datang juga Fathimah, kemudian beliau menyuruhnya masuk. Kemudian datang pula Ali, maka beliau menyuruhnya masuk, lalu beliau membaca ayat 33 surah al-Ahzab, "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."[5]
[sunting] Perkembangan Ahlul Bait
[sunting] Setelah wafatnya Nabi SAW
Berkembangnya Ahlul-Bait walaupun sepanjang sejarah kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah mengalami penindasan luar biasa, adalah berkah dari do’a Nabi Muhammad SAW kepada mempelai pengantin Fatimah putri beliau dan Ali di dalam pernikahan yang sangat sederhana.
- Doa Nabi SAW adalah,”Semoga Allah memberkahi kalian berdua, memberkahi apa yang ada pada kalian berdua, membuat kalian berbahagia dan mengeluarkan dari kalian keturunan yang banyak dan baik”
Setelah mengalami titik noda paling kelam dalam sejarah Bani Umayyah, dimana cucu Nabi SAW, al-Husain bersama keluarga dibantai di Karbala, pemerintahan berikutnya dari Bani Abbasiyah yang sebetulnya masih kerabat (diturunkan melalui Abbas bin Abdul-Muththalib) tampaknya juga tak mau kalah dalam membantai keturunan Nabi SAW yang saat itu sudah berkembang banyak baik melalui jalur Ali Zainal Abidin satu satunya putra al-Husain yang selamat dari pembantaian di Karbala, juga melalui jalur putra-putra al-Hasan.
[sunting] Perkembangan setelah berakhirnya kekuasaan Bani Abbasiyah
Sejarah membuktikan dari keturunan al-Hasan banyak yang selamat dengan melarikan diri ke arah Barat hingga mencapai Maroko yang hingga sekarang keluarga Raja Maroko mengklaim keturunan dari al-Hasan melalui cucu beliau Idris bin Abdullah, karena itu keluarga mereka dinamakan dinasti Idrissiyyah.
Belum lagi Ulama-ulama besar seperti Syekh Abu Hasan Syadzili Maroko (Pendiri Tarekat Syadziliyah) yang nasabnya sampai kepada al-Hasan melalui cucunya Isa bin Muhammad.
Mesir dan Iraq adalah negeri yang Ulama Ahlul-Baitnya banyak dari keturunan al-Hasan dan al-Husain. Abdul Qadir Jailani seorang Ulama yang dianggap sebagai Sufi terbesar dengan julukan ‘Mawar kota Baghdad’ adalah keturunan Sayyidina Hasan melalui cucu beliau Abdullah bin Hasan II.
Parsi hingga kearah timur seperti India sampai Asia Tenggara (termasuk Indonesia) didominasi para Ulama dari keturunan Sayyidina Husayn. Bedanya, Ulama Ahlul Bait di tanah Parsi banyak dari keturunan Imam Musa Al Kazim bin Imam Jafar Shadiq seperti Ayatullah Khumayni karena itu beliau juga bergelar Al-Musawi karena keturunan Imam Musa Al Kazim, sedangkan negeri Hadramawt (Yaman), Gujarat dan Malabar (India) hingga Indonesia Ulama Ahlul Baitnya banyak dari keturunan Imam Ali Uraidhi bin Imam Jafar Shadiq terutama melalui jalur Syekh Muhammad Shahib Mirbath dan Imam Muhammad Faqih Muqaddam Ulama dan Sufi terbesar Hadramawt di zamannya (abad 12-13M).
Madzhab yang dianut para Ulama keturunan Sayyidina Husayn pun terbagi 2 (di Parsi menganut Syi’ah sedangkan Hadramawt, India hingga Indonesia menganut Suni dengan condong kepada Tasawuf), berbeda dengan para Ulama keturunan Sayyidina Hasan dari Mesir hingga Maroko yang hampir semuanya adalah kaum Suni yang condong kepada Tasawuf.
Keberadaan keturunan Nabi SAW melalui Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husayn walau dihantam berbagai badai politik yang amat dahsyat menjadi bukti kebenaran hadits beliau tentang TSAQALAYN, tinggal sekarang bagaimana kita memahaminya dan mengamalkan tanpa harus ada pemaksaan pendapat dari pihak yang saling berbeda satu sama lain.
Yang paling menarik saat ini adalah kepercayaan akan datangnya Imam Mahdi bukan hanya menjadi keyakinan Ahlul Bait dari kaum Suni yang Sufi dan Syiah, bahkan kaum Suni yang Salafi yang dimasa lalu cukup alergi dengan keutamaan Ahlul Bait sekarang ikut mempercayai Imam Mahdi akan muncul dari Ahlul Bait tepatnya keturunan Fatimah putri Nabi SAW.
Tetapi siapa tepatnya yang akan menjadi Imam Mahdi, ke 3 kelompok ini (Syiah, Suni yang Sufi dan Suni yang Salafi) masih berbeda pendapat hingga sekarang dan hanya waktu yang tampaknya mampu menjawab. Dan kita semua sama-sama menanti.
[sunting] Apakah Ahlul Bait identik dengan Syi'ah
Seperti yang telah diuraikan dibag II sangat banyak Ulama Suni terutama dari kaum Sufi yang merupakan keturunan langsung Ahlul Bait baik dari jalur Sayyidina Hasan dan dari jalur Sayyidina Husayn.
Pertanyaan logis yang sangat menggelitik adalah seandainya aqidah dan amalan Ahlul-Bait yang sah hanya ada dalam madzhab Syi’ah maka ratusan ribu, atau bahkan mungkin saat ini mencapai jutaan keturunan Ahlul Bait yang mengamalkan madzhab Suni dari Maroko yang paling barat hingga Indonesia yang paling timur, baik dari tingkat Ulama sampai awamnya adalah sesat.
Lebih membingungkan lagi seperti diuraikan diatas secara matematis saja, keturunan Ahlul Bait yang mengamalkan madzhab Suni sudah jauh lebih banyak dari yang mengamalkan madzhab Syi’ah maka akan semakin banyak keturunan Nabi Muhammad SAW yang harus dikategorikan meyimpang dari jalan lurus.
Bahkan diantara sesama Syi’ah pun, pemahaman masalah Imamah berbeda satu aliran dengan aliran lain. Kalau yang benar adalah pemahaman Imamah dari Syi’ah Itsna Asy’ariah maka kaum Ismailiyyah yang tidak mengakui Imam Musa Al Kazim karena hanya megakui ke imaman Ismail otomatis juga menjadi golongan sesat.
Belum lagi dengan aliran Zaidiyyah yang mengikuti keimaman hanya sampai Zaid setelah Imam Zaynal Abidin yang mana banyak disebut sebagi cabang Syi’ah yang paling dekat kepada mayoritas Muslim dari kaum Suni. Bagaimana dengan kaum Zaidiyyah ini (yang banyak terdapat di Yaman utara) yang tidak mengamalkan IMAMAH versi 12 Imam kaum Syiah Itsna Asyariyah ?
Kaum Sufi yang secara garis besar masih masuk dalam madzhab Suni, seperti diuraikan pada bab sebelumnya kaum Ulamanya saja yang termasuk keturunan Ahlul Bait sudah tak bisa dihitung secara matematis, karena demikian banyaknya baik dari keturunan Sayyidina Hasan maupun dari keturunan Sayyidina Husayn. Do’a dan amalan mereka yang banyak menyebut keutamaan keluarga Nabi Muhammad SAW akan menjadi sangat tidak berarti, kalau bukan berguguran sama sekali, andaikata dianggap aqidah dan amalan ahlul bait yang sah hanya ada dalam madzhab Syi’ah.
Hadits Tsaqalayn bisa jadi juga isyarat dari Nabi Muhammad SAW bahwa pada akhirnya Ahlul Baitlah yang akan mempersatukan Umat Islam, ke arah mana dan bagaimana caranya justru kita semua masih menunggu, mungkin itulah masa yang paling indah dalam sejarah kemanusiaan dimana Umat Islam yang bersatu menjadi pioneer dalam memakmurkan kembali bumi yang sudah mulai panas dan gersang dan dipenuhi ketidak adilan ini. Itulah zaman Khalifah ke 12 yang adil, yang banyak disebut sebagai zamannya Imam Mahdi.
Bukankah dalam satu hadits shahih, Nabi SAW mnyebutkan Dajjal akan muncul dari antara Syam (Syiria) dengan Iraq, dan sekarang Iraq sudah mulai memperlihatkan diri semakin tidak terkendalikan segala sesuatunya dimana darah dan nyawa manusia semakin murah semenjak invasi Amerika Serikat.
Kekacauan yang nampaknya akan semakin meningkat di Iraq akan terus memuncak hingga munculnya Dajjal, pembuat fitnah terbesar yang pernah ada dalam sejarah manusia sampai Allah mengutus Imam Mahdi dan Nabi Isa untuk menghentikannya dan mengembalikan bumi menjadi tempat paling aman dan makmur.
![]() |
Artikel mengenai Islam ini adalah sebuah tulisan rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia mengembangkannya. |