Pembicaraan Pengguna:Arif Susanto
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
MITOMANIA Oleh: Arif Susanto
"Kami punya sebelas dewa di lapangan!", teriak pendukung kesebelasan Yunani. Bagaimana tidak, selama ini Yunani lebih dikenal dengan mitologi kunonya (dan para dewa adalah pihak yang paling menentukan dalam berbagai mitos tersebut) ketimbang prestasi mereka di dunia sepak bola. Namun, kali ini mereka mengalahkan tim tuan rumah Portugal dan juara bertahan Prancis dalam Euro 2004. Prestasi tersebut seolah terwujud berkat campur tangan para dewa, tetapi kenyataannya kerja keras tim sepak bola Yunanilah yang menghasilkan capaian itu. Berbicara soal Yunani memang sulit untuk mengabaikan mitologi yang telah melekat dengan sejarah "Negeri Hellas" tersebut. Tetapi, persoalan mitologi agaknya bukan monopoli Yunani. Dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang telah lalu, dunia politik kita juga diramaikan oleh banyaknya mitos yang menyelubungi para kandidat. Dalam beberapa kamus, mitos banyak dimaknai kurang lebih sebagai kisah atau ujaran yang kurang memiliki dasar faktual. Mitos bersifat imajiner, bahkan dibuat-buat untuk menjelaskan suatu kejadian. Dalam masa kampanye lalu kita dihadapkan pada berbagai kenyataan yang kebenarannya bagaikan mitos: tak nyata, namun kita mesti percaya.
Empat Mitos Kandidat Ada kalanya mitos memberi keuntungan tertentu, karenanya pihak yang diuntungkan merasa tidak berkewajiban menjelaskan dengan logika rasional tentang kenyataan sebenarnya. Di sisi lain, kadang kenyataan yang sebenarnya dikaburkan, hingga akhirnya menjadi mitos yang hanya dapat kita kira-kira saja kebenarannya. Dalam konteks ini, sedikitnya terdapat empat bentuk mitos yang secara sengaja dipelihara oleh sebagian kandidat presiden dan wapres kita. Pertama, sebagian kandidat membangun bayangan di kalangan masyarakat bahwa dirinya adalah tokoh yang luar biasa. Dia mewarisi aura kepemimpinan yang karismatis dan memiliki logika yang berbeda dengan kebanyakan orang. Dengan modal tersebut, tentu saja gaya kepemimpinannya menjadi berbeda dari kebanyakan tokoh. Karenanya, orang tidak perlu mempertanyakan integritas dan kapasitas kepemimpinan yang dianggap telah melembaga dalam dirinya. Hal ini, tentu saja seperti kisah magis para aktor dalam berbagai mitologi yang memiliki karakter extra ordinary. Kedua, sebagian kandidat dipandang masih memiliki masalah pelanggaran hukum pada masa lalu yang belum terselesaikan hingga kini. Tetapi, karena belum ada satu pengadilan pun yang digelar untuk menuntaskan persoalan tersebut, sang kandidat dengan mudah dapat menyangkal segala tuduhan dan dugaan. Kebenaran seputar tingkat keterlibatan sang kandidat kemudian hanya menjadi mitos; seberapa valid sanggahan kandidat tersebut, kita hanya mampu menduga-duganya. Ketiga, terdapat beberapa hal misterius seputar asal kekayaan kandidat dan biaya kampanye yang dikeluarkannya. Beberapa kandidat menyatakan bahwa sebagian dari kekayaan miliknya yang tidak kecil jumlahnya itu berasal dari hibah. Sementara banyak pula penyumbang anonim yang memberikan donasi hingga puluhan juta untuk biaya kampanye kandidat. Bahkan terdapat pula penyumbang yang alamatnya sulit diidentifikasi. Namun, pertanyaan mengenai kejujuran para kandidat dalam melaporkan asal usul kekayaan dan biaya kampanyenya tidak mampu kita verifikasi karena lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum melakukan audit yang menyeluruh. Lagi-lagi kita hanya mampu menebak-nebak kebenaran seputar hal tersebut dengan mengandaikan bahwa para kandidat telah berlaku jujur. Keempat, hampir semua kandidat menyodorkan janji-janji bahwa mereka akan memerhatikan kehendak dan kebutuhan rakyat. Mereka berjanji akan menyediakan pendidikan gratis, layanan kesehatan yang murah, atau lapangan kerja yang luas. Namun, persoalannya adalah hampir tidak ada kandidat yang mampu menjelaskan langkah konkret apa yang akan dilakukan untuk mewujudkan janji-janji tersebut. Kita terpaksa menelan seluruh janji tersebut sebagai kebenaran sebagaimana kita menerima kisah-kisah mitis dari kakek-nenek kita tanpa pernah tahu bagaimana ia menjadi sesuatu yang riil.
Kepercayaan Rakyat Dalam masa kampanye lalu para kandidat memang harus menyodorkan gambaran terbaik tentang diri dan programnya. Tetapi, gambaran imajinatif semacam itu bukanlah sebuah cara berkomunikasi yang cerdas. Sepatutnya para kandidat menyadari bahwa pemilu bukan sekadar mekanisme untuk memilih pejabat publik secara konstitusional. Pemilu juga merupakan sarana untuk mewujudkan partisipasi politik masyarakat. Sangat sulit bagi saya untuk mengandaikan partisipasi yang cerdas, jika yang disajikan kepada kita adalah kenyataan-kenyataan mitis yang harus kita anggap benar dengan sendirinya atau setidaknya kebenarannya mesti kita kira-kira sendiri. Sebaliknya, menyajikan segala hal yang berkaitan dengan diri sang kandidat berikut programnya secara transparan dan rasional akan menjadi langkah awal yang jitu untuk meraih kepercayaan rakyat. Membangun kepercayaan antara pemimpin dengan yang dipimpin adalah hal mendasar bagi pelembagaan demokrasi. Studi Putnam (1993) menunjukkan bahwa kepercayaan merupakan salah satu modal sosial yang berpengaruh besar bagi pembangunan demokrasi di Itali. Demikian pula Fukuyama (1996) menyebut bahwa kepercayaan menjadi modal sosial untuk menciptakan organisasi dan hubungan bisnis yang baik serta besar. Dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat di beberapa negara dengan tingkat kepercayaan yang tinggi – seperti Jepang, AS, atau Jerman – merupakan bukti nyata bagi hal tersebut. Dari kedua studi di atas kita dapat menyimpulkan bahwa kepercayaan sesungguhnya merupakan modal sosial yang amat kita butuhkan untuk membangun Indonesia ke depan. Lalu bagaimana cara membangun kepercayaan semacam itu? Sekali lagi, mari kita menengok kepada Putnam (1976) yang menyebut tiga elemen penting untuk menghubungkan pemimpin dengan yang dipimpin. Ketiganya adalah partai politik, kelompok kepentingan, dan jaringan patron-client. Ketiga elemen tersebut sebenarnya telah kita miliki, persoalannya hanya bagaimana memberdayakan itu semua agar dapat mendukung proses pelembagaan demokrasi. Dengan jaringan yang terentang dari ibukota negara hingga ke tingkat desa, partai sebenarnya dapat menjadi sarana yang paling efektif untuk menjangkau para pemilih. Gagasan-gagasan dan kepribadian sang kandidat dapat disosialisasikan secara jujur dan transparan melalui jaringan ini. Sebaliknya, institusi ini juga diharapkan mampu merekam dan menyuarakan kehendak rakyat. Sementara kelompok kepentingan dapat menjadi perantara yang menjembatani dukungan politik, penyediaan informasi, dan media yang mendesakkan kepentingan publik. Sedangkan jaringan patron-client yang bersifat informal memediasi kepentingan-kepentingan kalangan bawah yang bersifat personal seperti pemenuhan lapangan kerja, peningkatan gaji dan upah, serta perlindungan sosial yang dapat diangkat menjadi isu-isu bersama demi memperoleh dukungan politik. Dengan beberapa modal tersebut, sesungguhnya kesempatan kita untuk mengembangkan demokrasi sangat terbuka. Pembangunan demokrasi dapat kita mulai dengan hal-hal kecil yang ada di sekitar lingkungan kita seperti membangun kepercayaan komunal atau menyuarakan kehendak bersama melalui kelompok-kelompok kepentingan dengan cara-cara yang konstitusional. Langkah kecil semacam ini dapat menjadi basis bagi proses selanjutnya untuk mengembangkan suatu kerangka politik yang di dalamnya individu dan kelompok-kelompok yang mandiri serta sukarela, dapat mencoba mewujudkan kepentingan bersama satu sama lain. Karakter dasar seperti kejujuran dan kerja sama yang kemudian menciptakan saling percaya sebenarnya telah hidup dalam masyarakat kita secara tradisional. Tantangannya kemudian adalah bagaimana menghidupkan nilai-nilai tersebut sehingga menjadi modal sosial dan warna utama dalam pembangunan demokrasi kita ke depan. Dan kejujuran dalam hal ini menjadi landasan penting agar masyarakat kita tidak menjadi mitomania, masyarakat yang memiliki tendensi abnormal untuk berbohong atau melebih-lebihkan sesuatu.