Mandailing
Dari Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas.
Orang Mandailing mempunyai tradisi Pai Kolang, perantauan ke pantai barat Semenanjung Malaysia. Perang Paderi (1816-1833) ada yang menyebut dari 1803-1838, memasuki Mandailing untuk menguasai tambang/lombong dan pengeluaran mas di samping menyebarkan agama Islam. Perang antara kaum adat dan kaum Paderi di Minangkabau, Perang Paderi bertukar menjadi perang antara kaum Paderi dan Belanda setelah Belanda memihak kepada kaum adat. Sekitar tahun 1820, Paderi memasuki Mandailing . Sebagian orang Mandailing ada yang memihak Paderi dan sebagian menyebelahi Belanda. Kaum Paderi coba menghancurkan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan amalan/agama nenek moyang yang dianuti oleh orang-orang Mandailing yang bertentangan dengan Islam ala-Paderi. Peristiwa ini mencetuskan perantauan besar-besaran orang-orang Mandailing ke Malaysia pada abad ke 19, dikepalai oleh Raja-Raja Mandailing yang diikuti oleh marga-marga. Kehadiran orang-orang Mandailing di Malaysia meledakkan peperangan di tiga negeri yang berlangsung selama 30 tahun. Dari Melaka, pelarian Mandailing mengungsi ke Sungai Ujong (Seremban, Negeri Sembilan, hari ini), melombong/menambang mas sebelum terlibat dalam Perang Rawa, 1848. Mereka kemudian mengungsi ke tambang/lombong mas di Pahang, di mana mereka terheret dalam Perang Orang Kemaman (Perang Pahang, 1857-1863). Kemudian mereka coba menguasai tambang bijih timah di Selangor yang menjadi rebutan, sebelum mengepalai Porang Kolang (Perang Selangor, 1867-1873). Menjadi buruan orang Melayu Pahang, Bugis dan British, mereka melepaskan diri ke negeri Perak dan menjadi askar-askar upahan British dalam Perak War (1875-1876) menentang orang Melayu Perak. Sampai ke hari ini, keturunan Mandailing masih dapat ditemui di Negeri Sembilan, Pahang, Selangor dan di Perak. Mulanya sebagai pelombong, pedagang/peniaga dan askar upahan, mereka kemudian menjadi pentadbir (penghulu), pendidik dan forester.Masyarakat Mandailing di Perak banyak terdapat kawasan Batu Gajah,di sekitar Tanah Adat Mandailing (Makam Raja Asal) , Air Tawar , Air Kuning di Kampar , Banir , Langkat di Sungai Manik Teluk Intan dan sekitarnya , Behrang Ulu di Tanjong Malim dan beberapa perkampungan di kawasan Slim River.
Jadual isi kandungan |
[Sunting] Perang Paderi (1816-1833)
Dipetik dari [http//:www.mandailing.org]
Masa masuknya Islam sebelum serbuan Kaum Paderi, disebut oleh orang Mandailing maso silom na itom (masa Islam yang hitam). Pada masa itu agama Islam diantu orang Mandailing secara bercampur aduk dengan pele begu (agama tradisi). Berapa lama keadaan itu berlaku tidak diketahui dengan pasti.Perobahan besar berlaku dengan serbuan Kaum Paderi dari Minangkabau ke Mandailing sekitar 1820 dan membawa apa yang dijolok oleh orang Mandailing sebagai silom Bonjol (Islam Bonjol), yakni "satu mazhab Islam yang mencita-citakan kemurnian".
Dengan serbuan Kaum Paderi itu maka bergantilah maso silom na lom-lom (Islam hitam) dengan apa yang disebut orang Mandailing maso silom na bontar (masa Islam putih) atau maso silom Bonjol (masa Islam Bonjol). Hitam barangkali merujuk kepada warna biru nila (gelap) pakaian penentang-penentang Paderi.
Orang Mandailing menyebutnya demikian kerana Kaum Paderi menyerbu Mandailing dari Bonjol, dan Kaum Paderi yang mengembangkan agama Islam di masa itu umumnya berpakaian warna putih. Masa penyerbuan Paderi itu terkadang disebut orang Mandailing maso di na rinca (di zaman Tuanku Nan Renceh), seorang Imam Paderi.
Pecahnya Perang Paderi dan disusuli kemasukan Belanda mencetuskan perantauan orang-orang Mandailing ke Semenanjung Malaysia di abad ke-19. Gerombolan Mandailing ini terlibat dalam Perang Rawa 1848, Perang Pahang (Perang Orang Kemaman), 1857-1863, Perang Selangor (Porang Kolang), 1867-1873 dan Perang Perak, 1875-1876.
[Sunting] Marga-Marga Mandailing
Dipetik dari [http//:www.mandailing.org]
Orang-orang Mandailing mengelompokkan diri mereka dalam beberapa marga, sebagai keturunan daripada seorang tokoh nenek moyang. Masing-masing kelompok marga mempunyai seorang tokoh nenek moyangnya sendiri yang "berlainan asal". Pendek kata, masyarakat Mandailing merupakan kesatuan beberapa marga yang berlainan asalnya.
Silsilah keturunan itu dinamakan tarombo dan sampai sekarang masih banyak disimpan oleh orang-orang Mandailing sebagai warisan turun-temurun yang dipelihara baik-baik. Melalui tarombo, orang-orang Mandailing yang semarga mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai ini hari. Melalui jumlah keturunan dapat diperhitungan sudah berapa lama suatu kelompok marga mendiami wilayah Mandailing.
Marga dapat dirumuskan sebagai "kelompok orang yang dari keturunan seorang nenek moyang yang sama, dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapa atua bersifat patrilineal. Semua anggota marga memakai nama marga yang dipakai/dibubuhkan sesudah nama sendiri, dan nama marga itu menandakan bahwa orang yang menggunakannya mempunyai nenek moyang yang sama. Mungkin tidak dapat diperinci rentetan nama para nenek moyang yang menghubungkan orang-orang semarga dengan nenek moyang mereka, sekian generasi yang lalu, namun ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga yang sama terjalin hubungan darah, dan salah satu pertandanya adalah larangan kahwin bagi wanita dan pria yang mempunyai nama marga yang sama".
Nama marga-marga yang terdapat di Mandailing pada umumnya tidak muncul serentak. Kebiasaannya nama marga muncul dan mulai dipakai pada keturunan ketiga setelah nenek moyang bersama. Ini mungkin kerana pada generasi ketiga keturunan seorang nenek moyang mulai banyak jumlahnya sehingga mereka mulai memerlukan suatu nama identitas, iaitu nama marga.
Ada yang memperkirakan bahwa di Mandailing terdapat 15 marga. Marga-marga itu ialah:
Nasution, Hasibuan, Harahap, Daulae, Lubis, Siregar, Matondang, Dalimunte, Rangkuti, Batu Bara, Mardia, Parinduri, Tanjung, Pulungan, Lintang. Lumrahnya setiap marga mempunyai nenek moyang yang sama. Tetapi ada juga sejumlah marga yang berlainan nama tetapi mempunyai nenek moyang yang sama. Misalnya, marga Rangkuti dan Parinduri; Pulungan, Lubis dan Harahap; Daulae Matondang serta Batu Bara. Melalui tarombo atau silsilah keturunan dapat diketahui nenek moyang bersama sesuatu marga. Dan dari jumlah generasi yang tertera dalam tarombo dapat pula diperhitungkan berapa usia suatu marga atau sudah berapa lama suatu marga tinggal di Mandailing.
Dari banyak marga tersebut, terdapat dua marga besar yang berkuasa, yang masing-masing menduduki sebuah wilayah luas yang bulat. Marga itu adalah Nasution di Mandailing Godang dan Lubis di Mandailing Julu.
[Sunting] Bangsa Mandailing, Tidak Melayu dan Bukan Batak
Oleh Prof.Madya Abdur-Razzaq Lubis
Islam hanya mengakui 'ketunggalan' semata bagi Zat Allah subhana wa ta'alla, dan tidak bagi makhluk dan seluruh alam. Selain dari Zat Allah, kejadian dan penciptaanNya berdiri di atas kemajemukan termasuk dunia makhluk (manusia, haiwan, dll.). Malah kemajemukan adalah satu 'ayat' (tanda kekuasaan) dan kebesaran Allah dari ayat-ayat Allah dalam penciptaan.
Allah subhana wa ta'ala menciptakan perbedaan pada bentuk tubuh badan, raut rupa, warna kulit, suara - desah dan kerasnya, ketajamannya, kelembutannya, kefasihannya, bahasanya, susunan kata-katanya dan gaya bicaranya. Getaran suara masing-masing manusia, tidak ada yang sama, meskipun mereka kembar sekalipun. Perbedaan dalam pengucapan ini adalah satu ayat dari ayat-ayat Allah subhana wa ta'ala.
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui." ar-Rum: 22
Ayat tersebut di atas menunjukkan sifat kemajemukan atau pluralitas dalam kejadian manusia, yang membuahkan perbedaan mengikut kebangsaan dan suku, supaya masing-masing bangsa dan suku ta'aruf (saling mengenal) perbedaan yang berbeda-beda itu.
Dalam Islam, kemajemukan, berdasarkan tabiat asli, kecenderungan individu, dan perbedaan bangsa-bangsa dan suku-suku terangkum dalam fitrah (kebersihan atau kejernihan asli) yang menjadi sebagian dari sunnah (ketentuan) dari sunnah Allah subhana wa ta'ala, yang tidak dapat berubah dan tidak tergantikan. Maka, kemajemukan, pluralitas dan perbedaan adalah sunnah.
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." al-Hujurat: 13
Kemajemukan dalam ayat tersebut mengungkap pluralitas perbedaan bangsa-bangsa dan kabilah-kabilah dengan hikmah agar ber-ta'aruf (saling mengenal) di antara semua umat manusia. Ia menolak ketaksuban (fanatism) bangsa dan ras terhadap bangsa dan ras lain. Sekaligus menolak monopoli kebaikan dan kelebihan bagi satu umat saja tidak kepada umat lain. Kebaikan dan keburukan itu merupakan sifat asli suatu bangsa atau umat yang tidak dapat berubah. Setiap kelompok manusia mempunyai kesempurnaan dan kekurangan. Ini berarti kebaikan, keutamaan, kejahatan dan kekurangan terdapat pada seluruh makhluk. Pengertian ini membawa pada rasa bangga terhadap kekhasan dan keutamaan yang dimiliki tanpa mengingkari kekhasan dan kelebihan bangsa dan suku lain.
Dalam syariat-syariat dan manhaj-manhaj, dan selanjutnya peradaban-peradaban terutama umat-umat yang menerima risalah-risalah agama, kemajemukan merupakan pokok, kaidah yang abadi, dan sunnah Ilahiah. Ini berperanan sebagai pendorong untuk saling berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, sebagai iktibar untuk mengambil teladan dari kemajuan dan ketinggian martabat mereka di sisi Allah.
"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan, untuk itulah Allah menciptakan mereka..." Hud: 118-119
"...untuk itulah Allah menciptakan mereka," seakan-akan kemajemukan itu sebagai illat sebab keberadaannya kewujudan ini.
"...Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya suatu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu." al-Maa'idah: 48
Kemajemukan adalah pendorong menghadapi ujian, cobaan, kesulitan dan saingan di antara bangsa-bangsa dan suku-suku yang berbeda dalam syariat, manhaj dan peradaban, berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, kebajikan dan berkarya untuk keberuntungan di dunia dan di akhirat.
Ini adalah sunnah dari sunnah-sunnah Allah subhana wa ta'ala yang tidak tergantikan dan tidak berubah, yaitu kemajemukan dan perbedaan dalam kemanusian. Kemanusian yang satu dalam Islam adalah umat, bangsa, ras, kabilah, lidah, bahasa, warna kulit, yang beragam, mempunyai kekhasan tersendiri, plural/majmuk serta berbeda.
Untuk berdirinya satu umat/bangsa, mereka tidak harus mempunyai asal yang satu, bahasa yang satu, agama atau ras yang satu. Suatu umat/bangsa itu boleh berdiri di atas kesatuan sejarah, serta adanya unsur-unsur kebudayaan yang sama. Dalam kata-kata lain, umat adalah sekelompok manusia yang disatukan oleh sesuatu hal, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok lain. Faktor yang menyatukan ialah tabiat, sifat, bawaan, ikatan-ikatan darah, nasab, sosial, bahasa, dll.. Campuraduk antara umat/bangsa dan 'negara'/nasionalisme adalah hasil pengaruh pemikiran Barat.
Definasi umat termasuk kelompok dan jenis dari tiap makhluk selain manusia.
"Dan, tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu..." al-An'am: 38
"Semut adalah suatu umat." HR Muslim
Jelaslah dari keterangan-keterangan di atas bahwa orang-orang Mandailing yang punya ikatan darah, nasab, bahasa, aksara, sistem social (Dalian Na Tolu), muzik yang istimewa, adat, urf' (kebiasaan harian), sifat, tabiat, fitrah, yang punya peradaban/tamadun dan warisan budaya tersendiri adalah suatu umat yang berbeda dari bangsa Batak dan Melayu. Keberadaan, penciptaan dan kejadian bangsa Mandailing itu adalah satu tanda/ayat dari ayat-ayat kebesaran dan kekuasaan Allah subhana wa ta'ala, dan ketetapan sunnahNya, yang tidak berubah dan tidak tergantikan.
Bangsa Mandailing diBatakkan Belanda
Nama Mandailing sudah diketahui sejak abad ke 14 lagi, dan ini menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing, yang barangkali telah muncul sebelum abad itu lagi. Nama Mandailing tersebut dalam kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M. Batak tidak disebut sekalipun dalam kitab tersebut.
Nama Batak itu sendiri tidak diketahui dengan pasti asal-usulnya. Ada yang berpendapat istilah Batak itu digunakan oleh orang pesisir seperti orang Melayu untuk memanggil orang di pedalaman Sumatra, Batak, sepertimana orang Melayu memanggil 'orang asli', Sakai dan Jakun. Tapi orang pedalaman sendiri tidak membahasakan diri mereka, Batak. Kemudian panggilan ini dipetik oleh pengembara seperti Marco Polo, Ibnu Batutah, dan diambil oleh Portugis dan orang-orang dari atas angin dan bawah angin, hinggalah ke ini hari.
Bila Belanda menguasai kesultanan-kesultanan Melayu mereka bukan saja memasukkan kesultanan-kesultanan tersebut ke dalam sistem kolonial, sekaligus mereka juga mengambil-alih pemisahan Batak-Melayu. Persepsi Belanda terhadap orang-orang pedalaman termasuk terhadap bangsa/umat Mandailing dipengaruhi oleh persepsi kesultanan-kesultanan Melayu dan Minang, dan orang-orang pesisir, yang mereka dului berinteraski.
Lama-kelamaan memBatakkan bangsa/umat Mandailing membudaya dalam persepsi, tanggapan, tulisan-tulisan, dan sensus administratif Belanda hinggakan sesetengah orang Mandailing sendiri mulai melihat diri mereka dari persepsi penjajah yang melihat dari kacamata Melayu. Bangsa/umat Mandailing dikatogerikan bersama-sama dengan bangsa Toba, Pak-pak, Diari, Simalungun dan Karo untuk tujuan administratif umum di samping menjadi sasaran zending/Kristenisasi.
Pandangan berikut dari sarjana-sarjana Barat seperti Lance Castles adalah tipikal. "The use of 'Batak' as a common label for these groups (Toba, Mandailing dan Simalungun) as well as the Karo and Dairi has a chequered career. Linguists and ethnologists have always found the term necessary because of the strong common elements in all these societies. At some periods, however, those who were converted to Islam, especially Mandailings, have sought to repudiate any association with the non-Muslim Tobas by rejecting the Batak label altogether. This tendency has been strongest among Mandailing migrants to the East Coast of Sumatra and Peninsular Malaysia."
(Pengunaan istilah 'Batak' sebagai label yang umum untuk kelompok-kelompok ini (Toba, Mandailing dan Simalungun) sebagaimana juga dengan Karo dan Dairi mempunyai sejarah yang berpetak-petak. Ahli-ahli bahasa dan etnologi senantiasa mendapati bahwa istilah ini merupakan istilah yang diperlukan dikarenakan adanya elemen umum yang kuat di dalam tiap-tiap kelompok ini. Pada periode tertentu, mereka yang kemudian memeluk Islam, terutama orang Mandailing telah berusaha untuk tidak dihubungkan sama sekali - hubungan dengan non-Muslim Toba dengan menolak label Batak secara keseluruhan. Kecenderungan ini telah terjadi terkuat di antara orang Mandailing perantauan di Pantai Timur Sumatra dan Semenanjung Malaysia.)
Sementara sarjana Barat seperti Susan Rogers Siregar, agak peka dan mengerti sedikit. "Much of the Western literature asserts that there are six major Batak cultures: Toba, Karo, Dairi-Pakpak, Simalungun, Angkola, and Mandailing. This division into ethnic units is somewhat misleading, however, since villagers often have little use for such general words as 'Angkola' and identitfy themselves in much more local terms as members of a ceremonial league or a group of village clusters. The sixfold ethnic division may reflect relatively new ethnic designations as members of different homeland groups come into contact and competition with each other".
(Kebanyakan literatur Barat menegaskan bahwa ada enam budaya Budaya yang utama: Toba, Karo, Dairi, Pakpak, Simalungun, Angkola dan Mandailing. Pembagian ke dalam beberapa kelompok-kelompok etnik ini, menyesatkan, lantaran penduduk desa umum tidak banyak menggunakan perkataan seperti 'Angkola' dan mengidentifikasikan diri mereka dalam istilah yang lebih lokal sebagai 'anggota dari perhimpunan adat' atau sebuah kelompok perkampungan. Pembagian enam etnik tersebut mencerminkan secara relatif penunjuk-penunjuk etnik baru sebagai bagian dari kelompok-kelompok pribumi yang berbeda yang kebelakangan bertemu dan bersaing satu sama lain.)
Kebelakangan, sarjana-sarjana Indonesia (Indonesianists) dan antropolog terus memakai istilah Batak dengan alasan ianya 'useful' (berguna) dan 'necessary' (perlu). Pada akhirnya, sarjana-sarjana yang kononnya, menyelidik secara neutral dan objektif, sebetulnya bertanggungjawab mencipta identitas Batak dan memperkuat identitas Batak. Malah ciptaan mereka itu, mencorak dan mewarnai garis-garis besar ilmu mereka sendiri. Maka pemisahan Batak-Melayu itu berpanjangan hingga ini hari.
Bangsa Mandailing diMelayukan Inggeris
Kalau penjajah Belanda melabelkan orang Mandailing sebagai Batak, penjajah Inggeris melabelkan orang Mandailing sebagai "foreign Malays" (Melayu dagang). Di satu pihak, orang Mandailing disebut Batak Mandailng, dan di pihak yang lain, disebut Melayu Mandailing.
Penjajah Inggeris memakai stilah 'foreign Malays' untuk merujuk kepada orang Mandailing dengan alasan kemudahan administratif (administrative convinience). Pada mulanya, kategori Mandailing dan Batak terpisah dalam sensus-sensus British Malaya, kemudian kedua kategori tersebut dihapuskan menyebabkan orang Batak maupun orang Mandailing pilih 'masuk Melayu' atau menjadi Melayu dalam pengambilan sensus.
Meskipun berabad-abad orang-orang Batak sudah 'masuk Melayu', pemisahan Batak-Melayu terus kekal. Hinggakan proses meMelayukan orang-orang Batak termasuk bangsa/umat Mandailing yang dikategorikan sebagai sub-Batak itu, berkelanjutan hingga masakini. Apakah muslihat dan strategi penjajah dan sarjana-sarjana Barat mau menghapuskan kemajemukan kebangsaan bangsa-bangsa lain di Sumatra Utara supaya berTuankan Batak? Apakah muslihat dan strategi penjajah dan sarjana-sarjana Barat mau menghapuskan kemajemukan kebangsaan bangsa-bangsa Nusantara yang kedapatan di Semenanjung supaya berTuankan Melayu?
Bermula dengan rekayasa sosial engineering kolonial Belanda dan British, disusuli proses Malayan-isasi (kemudian Malaysian-isasi) dan Indonesianisasi yang berlaku sejak dari abad ke 19 sampai sekarang menerusi pendidikan nasional, polisi kebudayaan nasional dan nasionalisme Melayu dan Indonesia. Ciri-ciri khusus kebangsaan bangsa/umat Mandailing seperti bahasa dan aksara, digugat dan kemudian terhapus sama sekali atas nama asabiah (fanatik perkauman) pembangunan nasional, identitas nasional dan kesatuan nasional.
Rumusan
Pada tahun 1920an, alim ulamak dan pemuka-pemuka Mandailing telah memprotes percobaan orang-orang Batak-Islam termasuk orang Mandailing yang mengaku Batak, untuk dikuburkan di tanah perkuburan Sungai Mati. Alim ulama dan tokoh-tokoh Mandailing berhujah bahwa wakaf tanah perkuburan Sungai Mati hanyalah untuk jenazah-jenazah orang-orang Mandailing saja. Orang-orang Batak khusus Angkola termasuk Mandailing yang mengaku Batak, tidak pantas dikuburkan di perkuburan itu.
Pejuang-pejuang kebangsaan bangsa Mandailing membawa kasus/kes ke mahkamah syariah Sultan Deli dengan keterangan bahwa tanah perkuburan bangsa Mandailing di Sungai Mati, Medan, adalah semata-mata untuk bangsa Mandailing. Mereka yang berbangsa selain Mandailing, tidak boleh dikuburkan di situ. Mahkamah syariah Sultan Deli mendeklarsi bahwa bangsa Mandailing terpisah dan berdiri sendiri dari bangsa Batak. Kemudian bangsa Batak membawa kasus tersebut di mahkamah sibil di Batavia, Jawa. Mahkamah tersebut, mahkamah tertinggi di Hindia Belanda mendeklarasikan bahwa bangsa Mandailing bukan Batak.
Kasus jati diri tersebut dibukukan oleh Mangaradja Ihoetan dalam buku Asal-Oesoelnja Bangsa Mandailing (Pewarta Deli, Medan, 1926). Dalam pengantarnya kepada buku itu, Mangaradja Ihoetan menjelaskan maksud buku itu disusun "...hanjalah kadar djadi peringatan di-belakang hari kepada toeroen-toeroenan bangsa Mandailing itoe, soepaja mereka tahoe bagaimana djerih pajah bapa-bapa serta nenek mojangnya mempertahankan atas berdirinja kebangsaan Mandailing itoe. Dengan djalan begitoe diharap tiadalah kiranja mereka itoe akan sia-siakan lagi kebangsaanja dengan moedah maoe mehapoeskannja dengan djalan memasoekkan diri pada bangsa lain jang tidak melebihkan martabatnja".
"...Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu..." (al-Hujurat: 13. ) Jelas ketinggian dan kemulian tercapai dengan takwa bukan dengan memasukkan bangsa Mandailing ke dalam bangsa Batak maupun Melayu demi agenda nasionalisme, asabiah/fanatik kebangsaan dan negara-bangsa yang hakikat/entitinya berlawanan dengan Islam.
Justru kategori-kategori Batak-Mandailing dan Melayu-Mandailing, tidak menepati jati diri bangsa/umat Mandailing, bangsa/umat Mandailing hendaklah menolaknya bulat-bulat sebagai sisa-sisa peninggalan penjajahan fisikal maupun mental. Dan tidak terjebak dalam proses globalisasi yang mencita-citakan penghapusan kebangsaan bangsa-bangsa dan bahasa-bahasa dalam Tata Dunia Baru (New World Order), di mana manusia direncanakan menjadi warga perbankan dunia!
Prof.Madya Abdur Razzaq Lubis
[Sunting] Kerinduan Mandailing dari Tanah Seberang
TERNYATA banyak sekali orang Mandailing yang pernah dan masih menduduki jabatan penting di negara tetangga kita Malaysia. Beberapa di antaranya adalah Datuk Harun Harahap yang pernah menjabat sebagai Menteri Besar, Tan Sri Muhammad Taib Nasution yang Gubernur Selangor, Tun Mohammad Hanif Nasution yang pernah menjabat sebagai Ketua Polis Diraja Malaysia (semacam Kepala Polri), dan Tun Daim Batubara yang pernah menjabat Menteri Keuangan.
"Masih banyak lagi orang Mandailing yang memegang peran penting di Malaysia, namun tidak terlacak karena tidak memasang nama marga di belakang namanya," kata Abdur Razzaq Lubis, seorang Mandailing yang kini menjalankan situs www.mandailing.org dari Penang, Malaysia.
Bagi Abdur Razzaq Lubis, persoalan Mandailing atau bukan Mandailing adalah persoalan jati diri. Di Indonesia, Mandailing dimasukkan dalam kelompok etnis Batak alias disebut Batak Mandailing. Sedangkan di Malaysia, orang Mandailing dianggap sebagai sub etnis Melayu alias dianggap Melayu Mandailing yang dalam lafal Malaysia disebut Melayu Mendeleng.
"Kami orang Mandailing bukanlah Batak dan juga bukan Melayu. Kami punya perbedaan banyak dalam hal budaya dan lain-lain. Tolong dicatat ini," kata Lubis di kantornya yang sangat asri di George Town, Penang, Malaysia, akhir September lalu. Kantor Lubis di Armenian Street ini, dulu adalah Kantor Dr Sun Yat Sen, tokoh nasional Cina saat menyusun berbagai rencana.
Dari telaah yang telah dilakukan Lubis di berbagai museum dan berbagai perpustakaan, didapatlah fakta-fakta. Pendefinisian Mandailing ke dalam etnis Batak dilakukan pemerintah kolonial Belanda semata untuk membuat "batas" antara kelompok Muslim Minang dan Muslim Aceh.
Pada daerah "batas" ini, Belanda memberikan nama Batakland sehingga otomatis etnis-etnis di wilayah itu disebut orang Batak, termasuk orang Karo, orang Pakpak dan orang Angkola.
Sampai sekarang, Lubis masih terus memperdalam telaahnya tentang perbatakan dan permandailingan ini dari berbagai sumber. Sayangnya, literatur lama tentang Mandailing memang sangat sulit diperoleh, sementara biaya untuk melakukan itu tidaklah kecil.
Untunglah The Nippon Foundation mau menolong Lubis membiayai penelitiannya yang berjudul The Politics of Identity Construction: The Case of the Mandailing People.
PADA zaman globalisasi ini, berbicara mengenai etnis tampaknya memang seperti mundur ke belakang beberapa langkah. Abdur Razzaq Lubis sendiri sering mendapat tudingan itu atas penggalakan soal Mandailing ini di Malaysia.
"Justru di zaman globaliasasi ini masalah penemuan jati diri menjadi penting. Orang yang belum tahu siapa dirinya, akan larut dalam globalisasi dan menjadi bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa," kata aktivis dakwah dan juga lingkungan ini.
Di Malaysia, banyak keturunan Mandailing yang sudah menanggalkan nama marganya. Dalam penelitian Lubis, ada dua hal yang mendasari hal itu. Hal pertama adalah keinginan untuk tampak menjadi murni orang Melayu karena pengaruh lingkungan, dan hal kedua adalah untuk pelarian.
Pada masa perang kemerdekaan Indonesia, banyak orang Mandailing aktivis kemerdekaan yang lari dari kejaran Belanda ke Malaysia. Mereka menanggalkan nama marganya agar tidak terlacak lagi. Salah satu di antaranya adalah Kamaludin Nasution yang lari ke Malaysia tahun 1932. Nasution ini lalu berganti nama menjadi Abdurrahman Rahim yang menjadi wartawan cukup terkenal di Malaysia pada era tahun 1960-an.
Dalam buletin Mandailing terbitan Malaysia tahun 1996, terdapat sebuah tulisan menarik. Isi tulisan itu adalah tentang mantan Wapres Indonesia Adam Malik yang ternyata juga punya hubungan erat dengan Malaysia. Adam Malik yang bermarga Batubara ini disebutkan sebenarnya kelahiran Chemor, Perak, Malaysia.
LUBIS memang sangat getol dengan permandailingan. Hampir segenap pembicaraan dengannya pasti diisi dengan pemikiran Mandailing. Namun, untuk menunjukkan bahwa dirinya bukanlah orang yang picik memandang kesukuan, Abdur Razzaq memaparkan fakta bahwa istrinya bukanlah orang Mandailing.
"Istri saya adalah orang Tionghoa dari marga Khoo walau sudah dimandailingkan dengan nama baru Khoo Salma Nasution," kata ayah Namora Hadi Lubis, Norma Hasya Lubis dan si bungsu Maga Hayyan Lubis.
Usaha Razzaq dalam menggali kemandailingan sangatlah besar. Mengingat ia hanyalah keturunan ketujuh dari marga Lubis yang datang ke Malaysia zaman Perang Padri di abad ke-19, Abdur Razzaq menyempatkan diri mengujungi Tanah Mandailing di Tapanuli Selatan beberapa waktu lalu, juga menjalin kontak secara teratur dengan cendekiawan Mandailing di Indonesia.
"Segala yang saya tahu tentang Mandailing saya usahakan untuk juga diketahui orang lain. Demikian pula sebaliknya. Saya selalu senang berbagi dan menggali ilmu, apa pun," kata pria kelahiran George Town, Penang, 12 Agustus 1959 ini.
Salah satu makalahnya yang dibawakannya pada seminar antropologi di Padang, Sumbar, bulan Juli lalu yang berjudul The Transformation of Traditional Mandailing Leadership in Malaysia and Indonesia in the Age of Globalization sangat banyak mendapat sambutan dari berbagai disiplin ilmu.
Selain itu, benak Abdur Razzaq Lubis amatlah banyak isinya, bukan melulu kemandailingan. Selain juga aktif dalam hal pelestarian budaya dengan menjadi perwakilan Malaysia untuk Badan Warisan Sumatera (BWS), Lubis juga aktif pada kegiatan keagamaan, hubungan antar-agama, dan juga lingkungan.
Pada Maret-April 1995, Lubis adalah wakil dari agama Islam untuk sebuah deklarasi internasional tentang kepercayaan dan lingkungan yang ditandatangani semua perwakilan agama di Ohito, Jepang. Deklarasi yang hampir senada juga ditandatangani Lubis sebulan kemudian di Istana Windsor, Inggris.
DALAM kancah lain, Lubis aktif di People Against Interest Debt (PAID), sebuah lembaga nonpemerintah yang berkedudukan di Penang.
Pemikiran Lubis tentang riba ini banyak yang menjadi pembicaraan, termasuk di Indonesia. Salah satu pemikirannya yang cukup kontroversial adalah soal penggunaan kembali uang emas dan perak pada negara-negara Islam juga sudah diseminarkan beberapa kali di Jakarta, termasuk sudah dibukukan.
"Saat ini ekonomi negara-negara berkembang sangat dikuasai negara Barat, sementara krisis ekonomi melanda mana pun. Mengapa? Ini karena uang kertas yang saat ini kita pakai. Uang kertas adalah uang utang," kata Lubis berapi-api.
Lebih jauh, Lubis menjelaskan uang kertas adalah selembar "surat" yang menyatakan utang, artinya ia adalah simbol dari sesuatu yang senilai dengan angka tercantum pada uang kertas. Menurutnya, uang kertas kini sangat manipulatif, bisa dicetak berjuta-juta lembar tanpa merujuk kepada sesuatu yang nyata.
Kembali ke kancah pemakaian uang emas dan perak yang sudah dirintis pada setiap Festival Karpet di Dubai, UEA, Lubis yakin kalau satu milyar penduduk Muslim dunia mau memakai kembali uang dinar dan dirham, sebuah keseimbangan ekonomi baru bisa tercipta. dollar AS tidak akan terlalu mendikte pasar lagi.
"Pendeknya, sangat banyak kehancuran dunia ini yang disebabkan oleh riba. Jangan salah. Riba itu ada 77 jenis, di antaranya korupsi dan manipulasi. Ini harus kita perangi," kata Lubis. (Arbain Rambey, dari Penang, Malaysia )
--lannas 20:01, (UTC)