Soemarno Wiryo Di Harjo utawa Pak Singa
Sekang Wikipédia, Ènsiklopédhi Bébas basa Banyumasan: dhialék Banyumas, Tegal, Cirebon karo Jawa Serang/Banten lor.
KLAMIIT, klamiit kula bumbu lading, Pak Singa, mboten kesupen ngenjing dinten Jumat. Dalu niki dong Gendu-gendu Rasa kalih Pak Singa. Ndaweg pada mulai mawon, mumpung taksih sonten. Sapaan itu kurang lebih berarti sebagai berikut, "Permisi, permisi, saya Pak Singa. Tidak lupa, kan, bahwa besok hari Jumat, dan malam ini giliran saya membawakan Gendu-gendu Rasa (obrolan) bersama Pak Singa. Mari kita mulai, selagi hari belum terlalu malam."
Sapaan nang nduwur kuwe ialah sapaan khas sekang Pak Singa sing nduwe jeneng asli Soemarno Wiryo Di Harjo (75). Dheweke salah siji penyiar senior RRI Purwokerto.
Saben dina Kemis mbengi molaih pukul 21.00, Pak Singa akan mengajak pendengar RRI Purwokerto ke dalam obrolan berbahasa Banyumasan selama 15 menit.
Pak Singa aktif membawakan siaran Banyumasan sekitar tahun 1968 hingga tahun 1985 yang dapat didengar hampir di seluruh wilayah Banyumasan antara lain Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, Kebumen, Brebes dan Tegal bagian selatan bahkan hingga ke Wonosobo.
Beliau juga menekuni bidang jurnalistik dan sempat menjadi wartawan Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Suara Merdeka Semarang, dan kantor berita Antara. Selain itu Pak Singa juga aktif menulis di beberapa majalah berbahasa Jawa, seperti Panjebar Semangat, Joyoboyo, dan Terang Bulan (ketiganya di Surabaya).
Pria kelahiran Klampok, Banjarnegara ini sebenarnya bercita-cita menjadi penjual karcis kereta api sehingga setelah menamatkan sekolah di Holland Indische School (HIS), ia melamar sebagai staf Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) dan diterima di bagian bengkel. Kariernya bergerak perlahan sampai akhirnya menjadi Kepala Perjalanan Kereta Api. Saat Jepang jatuh, ia keluar dari PJKA dan beralih menjadi juru penilik sekolah di Banjarnegara.
Selanjutnya Soemarno mendaftar sebagai wartawan di Harian Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dan Antara, ia mengisi beberapa media anak-anak, seperti Mitra dan Taman Bocah terbitan Balai Pustaka.
Ketika RRI Purwokerto berdiri tahun 1962, Soemarno melamar. Di sinilah nama Pak Singa mulai dikenal orang. Nama itu diambil dari kisah Perang Diponegoro. Saat itu wilayah Banyumas dan sekitarnya turut bertempur melawan Belanda di bawah pimpinan Lurah Prajurit Ngabei Singadipa.
Para pengikut Diponegoro menggunakan bahasa sandi untuk berkomunikasi dan menandai kawan atau lawan. Bahasa sandi itu antara lain ungkapan bumbu-lading yang dipergunakan Soemarno setiap kali membuka siaran.
Soemarno menjelaskan, secara harfiah, bumbu lading berasal dari kata bumbu (bumbu dapur) dan lading (pisau), yang keduanya sudah menyatu dan tidak terpisahkan lagi. Demikian pula seorang penyiar, tidak dapat dipisahkan dari pendengarnya.
"Bagi saya, itu berarti jangan sampai saya dipisahkan dari pendengar," ujarnya.
Bagi Soemarno, ungkapan tersebut bukan lagi sekadar kata-kata. Meski sudah pensiun sejak tahun 1985, Soemarno tetap mengudara dengan suara khas dan dialek Banyumasannya yang kental. Kelebihan berbahasa Banyumasan itu pula yang membuat Soemarno dipertahankan menjadi pengasuh acara Gendu-Gendu Rasa di RRI Purwokerto hingga sekarang.
Di sela-sela kesibukannya sebagai wartawan dan juga penyiar, Soemarno masih menyempatkan diri menulis dalam bahasa Jawa karena bisa meneruskan warisan nenek moyang. Kekonsistenannya ini membuahkan berbagai penghargaan, di antaranya penghargaan dalam bidang pembina budaya Jawa oleh Pusat Lembaga Budaya Jawa Surakarta tahun 1998, dan juga dari Menteri Penerangan serta Bupati Banyumas atas jasanya dalam siaran pedesaan.
Lelaki berputra 11 dari istri tercinta, Salamah Yuwani, dan bercucu 13 orang itu mengaku sangat prihatin jika melihat sikap generasi muda sekarang terhadap budaya peninggalan leluhur. Bahasa Banyumasan kini mulai ditinggalkan, sebagian masyarakat merasa malu mempergunakannya.
mBalik ming: