Muhammad Abduh
Dari Wikipedia bahasa Melayu
Muhammad Abduh Diambil dari Buku : Rasionalitas al-Qur'an* Studi Kritis atas Tafsir al-Manar Karya M. Quraish Shihab Terbitan Lentera Hati, Edisi Baru Cetakan 1 April 2006
- Yang dimuat di sini adalah ikhtisar ringkasan saja
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Lahir di desa Mahallat Nashr di kabupaten al-Buhairah, Mesir tahun 1849 M. Abduh dikirimkan ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha, sekitar 80 Km dari Kairo untuk mempelajari tajwid al-Qur'an, namun sistem pengajaran disana dianggapnya menjengkelkan dan tidak bisa beliau pahami sehingga setelah 2 tahun, Abduh memutuskan kembali kedesanya dan dia dinikahkan pada usia 16 tahun pada 1865.
Karena terus dipaksa oleh ayahnya untuk belajar di al-Ahmadi, Abduh akhirnya melarikan diri ke desa Syibral Khit dimana didesa ini banyak tinggal keluarga dari ayahnya. Dan disini dia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya sendiri yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur'an dan menganut pemahaman tasawuf asy-Syadziliah.
Dari pamannya inilah Abduh akhirnya menemukan pencerahan akan hakikat ilmu pengetahuan dan mendapat semangat untuk kembali menimba ilmu di masjid al-Ahmadi Thanta. Selanjutnya usai dari sana, beliau melanjutkan studinya di al-Azhar, yaitu bulan Pebruari 1866. Disana Abduh melemparkan kritikannya : Kepada para mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan kepada mereka pada usaha penelitian, perbandingan dan penarjihan.
Di al-Azhar, Abduh mengagumi Syaikh Hasan ath-Thawil yang mengajarkan kitab filsafat karangan Ibnu Sinna, logika karangan Aristoteles dan lain sebagainya., Abduh juga mengagumi sosok Muhammad al-Basyumi, yaitu orang yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastera dan bahasa.
Tahun 1871, Jamaluddin al-Afghani tiba di Mesir dan Abduh rajin menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan oleh al-Afghani. Dari kedekatannya itulah akhirnya Jamaluddin al-Afghani berhasil merubah Abduh dari tasawuf -dalam arti sempit- kepada tasawuf dalam arti lain, yaitu perjuangan untuk perbaikan keadaan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran-ajaran Islam.; Hal ini dilakukan melalui pemahaman mempelajari faktor-faktor yang menjadikan dunia barat mencapai kemajuan, guna diterapkan dalam masyarakat Islam selama faktor-faktor itu sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.
2 tahun setelah pertemuannya dengan al-Afghani, Abduh menulis kitabnya : Risalah al-'aridha (1873), disusul kemudian Hasyirah Syarh al-Jalal ad-Dawwani li al-Aqa'id adh-Adhudhiyah ( 1875 ) .
Abduh yang baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam dan tasawuf serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.
Disamping itu Abduh juga menulis artikel-artikel pembaruan disurat kabar al-Ahram, Kairo yang tulisan-tulisannya tidak disukai oleh para pengajar di al-Azhar, namun berkat kemampuan ilmiahnya dan juga pembelanya, yaitu Syaikh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi yang waktu itu menjabat Syaikh al-Azhar, Abduh dinyatakan lulus dengan peringkat tertinggi dalam usia 28 tahun ( 1877 ).
Dalam beberapa tahun kemudian Jamaluddin al-Afghani diusir dari Mesir ( 1879 ) dan Abduh sendiri diasingkan kedesa kelahirannya sampai akhirnya beliau menyusul al-Afghani di Paris.; Disana mereka menerbitkan surat kabar al-Urwah al Wutsqa yang bertujuan menentang penjajahan barat, khususnya Inggris.
Tahun 1885, Abduh meninggalkan Paris menuju Beirut ( Libanon ) dan mengajar disana sambil mengarang kitab-kitab : Risalah at-Tauhid*, Syarh Nahjul Balaghah* ( komentar menyangkut kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abu Thalib ), menerjemahkan karangan al-Afghani : ar-Raddu 'ala Ad-Dahriyyin ( bantahan terhadap orang yang tidak percaya eksistensi Tuhan ) dari Syarh Maqamat Badi' az-Zaman al-Hamazani.
- Kedua kitab tersebut alhamdulillah berhasil penulis ( Arman -red ) dapatkan dan koleksi.
Tahun 1905, Abduh mencetuskan ide pembentukan Universitas Mesir, namun sayang ide ini baru terwujud setelah beliau wafat yang kelak menjadi Universitas Kairo.
Abduh sangat membenci sikap taklid yang menghinggapi umat Islam saat itu, hal ini sebenarnya mulai dia rasakan sejak menginjak al-Azhar, dimana disana dia mendapati terpolanya 2 pemahaman, yaitu kaum mayoritas yang penuh taqlid dan hanya mengajarkan kepada siswa-siswanya pendapat-pendapat ulama terdahulu dan untuk sekedar dihapal, sementara kaum minoritas adalah mereka yang suka akan pembaruan Islam ( pola Tajdid ) yang mengarah pada penalaran dan pengembangan rasa.
Salah satu pemikiran dan keinginan dari Abduh adalah membebaskan akal pikiran dari belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya Salaf al-Ummah, yaitu sebelum terjadinya perpecahan, dengan cara memahami langsung dari sumber pokoknya : al-Qur'an.
Abduh menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak lain kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda dan pada akhirnya malah menjauh dari tujuan diturunkannya al-Qur'an.
Sebagian kitab-kitab tafsir itu sedemikian kering dan kaku karena penafsirnya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i'rab dan penjelasan lain menyangkut segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat-ayat al-Qur'an. Oleh karena itu, kitab-kitab tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam bidang bahasa bukan kitab tafsir yang sesungguhnya.
Abduh berpendapat bahwa wahyu al-Qur'an menunut pembuktian secara akal mengenai klaim-klaim yang disampaikannya.
Dalam hal penafsiran, Abduh banyak berbeda dengan penafsiran tradisional, misalnya mengenai kata layalin 'asyr ( al-Fajr : 2 ), beliau menolak menafsirkan kata tersebut sesuai pemahaman ulama-ulama diawal tahun hijriah., lalu menyangkut kata Asyqa dan atqa pada surah al-Lail ayat 15 dan 18 ( yang mendapat kritikan dari as-Suyuthi ).
Abduh berkata :
Aku ingin agar al-Qur'an menjadi sumber yang kepadanya disandarkan semua madzhab dan pandangan keagamaan, bukannya madzhab tersebut menjadi pokok dan ayat-ayat al-Qur'an dijadikan pendukungnya.
Dari sini Abduh menyatakan bahwa para pemikir Islam terdahulu telah berjasa dalam usaha mereka, tetapi itu tidak berarti bahwa kita harus mendahulukan pendapat-pendapat mereka ketimbang petunjuk-petunjuk yang kita pahami dari ayat-ayat al-Qur'an.
Abduh juga berpendapat bahwa antara wahyu dan akal tidak mungkin bertentangan dan karenanya beliau menggunakan akal secara luas untuk memahami, menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, baik yang menyangkut akidah maupun syariah.
Lebih jauh, Abduh juga melemahkan sejumlah hadis-hadis yang oleh ulama-ulama hadis sebagai hadis shahih seperti hasil riwayat Bukhari, Muslim dan sebagainya.
Abu Rayyah menulis bahwa Abduh berpendapat : kaum Muslimin dewasa ini tidak memiliki Imam kecuali al-Qur'an.
Dari sini bisa dipahami mengapa Abduh tidak menghiraukan segi-segi ma'tsur ( riwayat ), tidak pula memperhatikan cara pentakhrijan serta sejarah yang menyangkut ayat-ayat al-Qur'an. Karenanya tidak heran bila banyak hadis-hadis yang dianggap shahih sejumlah ulama malah ditolak dan diabaikan oleh beliau karena dianggap tidak sesuai dengan pemikiran logis atau tidak sejalan dengan redaksi ayat-ayat al-Qur'an., Sebaliknya ada juga hadis atau riwayat yang oleh ulama dinilai lemah justru dikukuhkan oleh Abduh karena kandungannya sejalan dengan pemikiran logis.
Abduh juga dikenal sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat atas kisah-kisah menyangkut Israiliyah.
Metode yang ditempuh oleh Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, di-ikuti oleh sekian banyak mufasir sesudahnya seperti Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad dan Ahmad Musthafa al-Maraghi, Abdullah Daraz, Abdul Jalil Isa dan sebagainya, meskipun mereka-mereka ini tidak sepenuhnya sama dengan yang ditempuh oleh Abduh.
- Mungkin saya sendiri termasuk satu dari sekian orang yang menempuh metode penafsiran al-Qur'an sebagaimana Abduh.
Wassalam.,
Armansyah http://armansyah.swaramuslim.net