Indonesia: Era 1945-1949
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
![]() |
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifisasi artikel. Setelah dirapikan, Anda boleh menghapus pesan ini. |
Sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
--Zaman pra-kolonial
---Prasejarah
---Kerajaan Hindu-Buddha
---Kerajaan Islam
--Zaman kolonial
---Era Portugis
---Era VOC
---Era Belanda
---Era Jepang
Sejarah Republik Indonesia
---Proklamasi
---1945-1949
---1950-1959
---Demokrasi Terpimpin
---Gerakan 30 September
---Orde Baru
---Gerakan mahasiswa Indonesia 1998
---Reformasi
Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, bahwa negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.
Menurut Sekutu sebagai pihak yang memenangkan Perang Dunia II, Lord Mountbatten sebagai Komandan Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara adalah orang yang diserahi tanggung jawab kekuasaan atas Sumatra dan Jawa. Tentara Australia diberi tanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur.
Pada 23 Agustus 1945 tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh. 15 September 1945, tentara sekutu tiba di Jakarta, ia didampingi Dr Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa dikemudian hari akan dibentuk sebuah Uni yang diantara anggotanya ialah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, dibawah pimpinan Ratu Belanda.
Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14 November, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Negeri Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari Presidentil menjadi Parlementer) memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.
Ketika Syahrir mengumumkan kabinetnya, 15 November 1946, Letnan Gubernur Jendral van Mook mengirim kawat kepada Menteri Jajahan, Logemann, yang berkantor di Den Haag: "Mereka sendiri [Sjahrir dan Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas jalannya keadaan". Logemann sendiri berbicara pada siaran radio BBC tanggal 28 November 1945, "Mereka bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden mereka, kita tidak akan pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan berunding dengan Sjahrir". Tanggal 6 Maret 1946 kepada van Mook Logemann menulis bahwa Soekarno adalah persona non grata.
Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk merubah sistem pemerintahan dari Kabinet Presidentil menjadi Parlementer, karena seminggu sebelum perubahan pemerintahan itu, Den Haag mengumumkan dasar rencananya. Ir Soekarno menolak hal ini, sebaliknya Sjahrir mengumumkan pada tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.
Pada tanggal 10 Februari 1946 pemerintah Belanda membuat statement memperinci tentang politiknya dan menawarkan mendiskusikannya dengan wakilwakil Republik yang diberi kuasa. Tujuannya hendak mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri, dan untuk menciptakan warga negara Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di sana. Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu parlemen yang dipilih secara demokratis dimana orang-orang Indonesia akan merupakan mayoritas. Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen tetapi akan dikepalai oleh wakil kerajaan Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia dihubungkan bersama-sama dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran akan menjadi partner dalam Kerajaan Belanda Nederland akan mendukung permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi PBB.
Pada bulan April dan Mei 1946, Sjahrir mengepalai delegasi kecil Indonesia yang pergi berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe. Lagi, ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah berupa pengakuan atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas dasar itu Indonesia baru mau berhubungan erat dengan Nederland dan akan bekerja sama dalam segala bidang Karena itu Pemerintah Belanda menawarkan suatu kompromi: "mau mengakui Republik sebagai salah satu unit negara federasi yang akan dibentuk sesuai dengan Deklarasi 10 Februari". Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de facto Republik atas bagian Jawa dan Madura yang belum berada di bawah perlindungan pasukan Sekutu. Karena Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat ini, konferensi itu pecah dan ia bersama teman-temannya kembali pulang.
Pada tanggal 17 Juni 1946, Sjahrir mengirimkan surat rahasia kepada van Mook, menganjurkan bahwa mungkin perundingan yang sungguh-sungguh dapat dimulai kembali. Dalam surat Sjahrir yang khusus ini, ada penerimaan yang samar-samar tentang gagasan van Mook mengenai masa peralihan sebelum kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia; ada pula nada yang lebih samar-samar lagi tentang kemungkinan Indonenesia menyetujui federasi Indonesia - bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai negara merdeka dengan kemungkinan hanya Republik sebagai bagian paling penting Sebagai kemungkinan dasar untuk kompromi, hal ini dibahas beberapa kali sebelumnya, dan semua tokoh politik utama Republik mengetahui hal ini.
Pada tanggal 17 Juni 1946, sesudah Sjahrir mengirimkan surat rahasianya kepada van Mook, surat itu dibocorkan kepada pers oleh surat kabar di Negeri Belanda. Pada tanggal 24 Juni 1946 van Mook mengirim kawat ke Den Haag: "menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, usul balasan (yakni surat Sjahrir) tidak disetujui oleh Soekarno dan ketika dia bertemu dengannya, dia marah Tidak jelas, apa arah yang akan diambil oleh amarah itu". Pada waktu yang sama, surat kabar Indonesia menuntut dijelaskan desas-desus tentang Sjahrir bersedia menerima pengakuan de facto Republik Indonesia terbatas pada Jawa dan Sumatra.
Pada tanggal 27 Juni 1946, dalam Pidato Peringatan Isro Mi'raj Nabi Muhammad SAW, Wakil Presiden Hatta menjelaskan isi usulan balasan di depan rakyat banyak di alun-alun utama Yogyakarta, dihadiri oleh Soekarno dan sebagian besar pucuk pimpinan politik. Dalam pidatonya, Hatta menyatakan dukungannya kepada Sjahrir, akan tetapi menurut sebuah analisis, Publisitas luas yang diberikan Hatta terhadap surat itu, menyebabkan kudeta dan penculikan terhadap Sjahrir.
Pada malam itu terjadi peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir, yang sudah terlanjur dicap sebagai "pengkhianat yang menjual tanah airnya". Sjahrir diculik di Surakarta, ketika ia berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa Kemudian ia dibawa ke Paras, kota dekat Solo, di rumah peristirahatan seorang pangeran Solo dan ditahan di sana dengan pengawasan Komandan Batalyon setempat.
Pada malam tanggal 28 Juni 1946, Ir Soekarno berpidato di radio Yogyakarta Ia mengumumkan bahwa: "Berhubung dengan keadaan di dalam negeri yang membahayakan keamanan negara dan perjuangan kemerdekaan kita, saya, Presiden Republik Indonesia, dengan persetujuan Kabinet dan sidangnya pada tanggal 28 Juni 1946, untuk sementara mengambil alih semua kekuasaan pemerintah".
Bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia, keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah mengusai sebelah Timur Nusantara Dalam bulan Juni diadakan konferensi wakil-wakil daerah di Milano, Sulawesi, di bawah dr Van Mook dan minta organisasi-organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian; Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Timur Raya. Selama sebulan lebih, Soekarno mempertahankan kekuasaan yang luas yang dipegangnya Pada tanggal 14 Agustus 1946, Sjahrir diminta kembali untuk membentuk kabinet. Pada tanggal 2 Oktober Sjahrir kembali menjadi Perdana Menteri, komentar Sjahrir kemudian: "kedudukan saya di kabinet ketiga diperlemah dibandingkan dengan kabinet ke dua dan pertama Dalam kabinet ke tiga saya harus berkompromi dengan Partai Nasional Indonesia dan Masyumi... Saya harus memasukkan orang seperti Gani dan Maramis lewat Soekarno, dengan siapa saya harus saya tanyakan pendapatnya dalam membentuk kabinet"
Daftar isi |
[sunting] Perjanjian Linggarjati
Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan dengan menunjuk tiga orang komisi jendral datang ke Jawa dan membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Loard Killean. Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut :
- Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949
- Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia
- Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah majlis Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Unie Indonesia-Nederland bersama dengan Nederland, Suriname dan Curasao Ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan Indonesia Serikat akan mengajukan sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman Dua hari kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi persetujuan Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.
Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang, S M Kartosoewirjo ditunjuk sebagai salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam komite Eksekutif, yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), dalam sidang tersebut membahas apakah Persetujuan Linggarjati yang telah diparaf oleh Pemerintah Republik dan Belanda pada bulan November 1946 akan disetujui atau tidak Kepergian S M Kartosoewirjo ini dikawal oleh para pejuang Hizbullah dari Jawa Barat, karena dalam rapat tersebut kemungkinan ada dua kubu yang bertarung pendapat sangat sengit, yakni antara sayap sosialis (diwakili melalui partai Pesindo), dengan pihak Nasionalis-Islam (diwakili lewat partai Masyumi dan PNI). Pihak sosialis ingin agar KNPI menyetujui naskah Linggarjati tersebut, sedang pihak Masyumi dan PNI cenderung ingin menolaknya Ketika anggota KNIP yang anti Linggarjati benar-benar diancam gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada S M Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak menembaki satuan-satuan Pesindo.
DR H J Van Mook kepala Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda, dengan gigih memecah RI yang tinggal 3 pulau ini Bahkan sebelum naskah itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, *28 ia telah memaksa terwujudnya Negara Indonesia Timur, dengan presiden Sukowati, lewat Konferensi Denpasar tanggal 18 - 24 Desember 1946
Pada bulan tanggal 25 Maret 1947 hasil perjanjian Linggarjati ditandatangani di Batavia Partai Masyumi menentang hasil perjanjian tersebut, banyak unsur perjuang Republik Indonesia yang tak dapat menerima pemerintah Belanda merupakan kekuasaan berdaulat di seluruh Indonesia 29 Dengan seringnya pecah kekacauan, maka pada prakteknya perjanjian tersebut sangat sulit sekali untuk dilaksanakan.
[sunting] Proklamasi Negara Pasundan
Usaha Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan setelah itu, Belanda berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa, memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Secara militer negara baru ini sangat lemah, ia benar benar sangat tergantung pada Belanda, tebukti ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi dan kekuatan RI hengkang dari Jawa Barat.
Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya Negara Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian besar dari pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakibatkan perang. Oleh karena itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan komoditi dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak dan karet).
[sunting] Agresi Militer
Tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari berisi :
1.Membentuk pemerintahan ad interim bersama; 2.Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama; 3.Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerahdaerah yang diduduki Belanda; 4.Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama); dan 5.Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus "mengembalikan ketertiban" dengan "tindakan Kepolisian". Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli) mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisional' mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.
Setelah terjadinya agresi militer I Belanda pada bulan Juli, pengganti Sjahrir adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada S M Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir Sjarifudin, dia menolak kursi menteri karena "ia belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi". SM Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Bangsa Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda. Di samping itu S M Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Sjarifudin yang kekiri-kirian Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di percaturan politik Nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat bahwa Amir Syarifudin membawa arah politik Indonesia ke arah Komunisme.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
[sunting] Perjanjian Renville
Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas desakan Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal 1 Agustus 1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu Komisi Jasa-Jasa Baik, yang terdiri dari wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .
Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh yang kedua belah pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi atas garis yang berbeda dari persetujuan Linggarjati, karena plebisit akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di pulau-pulau besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi yang direncanakan Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai diserahkan pada Indonesia Serikat.
Pada tanggal 19 Januari ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati : hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa -Banten tetap daerah Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda menjelaskan mengapa persetujuan itu ditandatangani agar Belanda tidak "menimbulkan rasa benci Amerika".
Sedikit banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi selama dan sesudah perundingan Linggarjati. Seperti melalui persetujuan Linggarjati, melalui perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan lambang kemerdekaan Indonesia dan persatuan Yogyakarta hidup lebih lama, jantung Republik terus berdenyut. Ini kembali merupakan inti keuntungan Seperti sesudah persetujuan Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari pusat kembali diidentifikasi dengan persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir, kini Perdana Menteri Amir- yang dianggap langsung bertanggung jawab jika sesuatu salah atau dianggap salah.
[sunting] Kabinet Hatta
Dari adanya 'aksi polisional' pertama dengan hasil diadakannya persetujuan Renville menyebabkan jatuhnya pemerintahan Amir Sjarifuddin. Seluruh Anggota yang tergabung dalam kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan ketika persetujuan Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-49), dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama terdiri dari orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Dan langkah Amir dan Sayap Kirinya kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Memang runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat ketimbang Sjahrir, enam bulan lebih dulu Amir segera dituduh -kembali khususnya oleh Masyumi dan kemudian Partai Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi keinginan pihak asing. Hanya empat hari sesudah persetujuan Renville ditandatangani, pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syarifudin dan seluruh kabinetnya berhenti. Kabinet baru dibentuk dan susunannya diumumkan tanggal 29 Januari 1948. Hatta menjadi Perdana Menteri sekaligus tetap memangku jabatan sebagai Wakil Presiden.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan keluar bagi Amir dibanding dengan Sjahrir sesudah Persetujuan Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan Beberapa hari sesudah Amir berhenti, di awal Februari, Hatta membawa Amir dan beberapa pejabat Republik lainnya mengelilingi Provinsi Amir diharapkan menjelaskan Persetujuan Renville. Pada rapat raksasa di Bukit Tinggi, Sumatra Barat, di kota kelahiran Hatta -dan rupanya diatur sebagai tempat berhenti terpenting selama perjalanan- Hatta berbicara tentang kegigihan Republik, dan pidatonya disambut dengan hangat sekali. Kemudian Amir naik mimbar, dan seperti diuraikan Hatta kemudian: "Dia tampak bingung, seolah-olah nyaris tidak mengetahui apa ayang harus dikatakannya Dia merasa bahwa orang rakyat Bukit Tinggi tidak menyenanginya, khususnya dalam hubungan persetujuan dengan Belanda Ketika dia meninggalkan mimbar, hampir tidak ada yang bertepuk tangan"
Menurut peserta lain: "wajah Amir kelihatannya seperti orang yang sudah tidak berarti". Sjahrir juga diundang ke rapat Bukit Tinggi ini; dia datang dari Singapura dan berpidato. Menurut Leon Salim -kader lama Sjahrir- "Sjahrir juga kelihatan capai dan jarang tersenyum". Menurut kata-kata saksi lain, "seolah-olah ada yang membeku dalam wajah Sjahrir" dan ketika gilirannya berbicara "dia hanya mengangkat tangannya dengan memberi salam Merdeka dan mundur". Hatta kemudian juga menulis dengan singkat tentang pidato Sjahrir: "pidatonya pendek". Dipermalukan seperti ini, secara psikologis amat mungkin menjadi bara dendam yang menyulutnya untuk memberontak di kemudian hari.
Persetujuan Renville tidak lebih baik daripada persetujuan di Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian, dan Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah. Bulan Juli 1948 Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan senjata yang berulangulang.
[sunting] Agresi Militer II
Belanda kemudian membangkitkan setan komunis. Mereka menekan bahwa republik telah dikuasai komunis Ini mengakibatkan pembersihan segera oleh republik dari unsur-unsur komunis. Tetapi Belanda belum puas. Bulan Desember 1948 perundingan sama sekali hancur dan mereka kembali lagi pada "tindakan kepolisian". Mereka menduduki sisa daerah republik dan menyekap pemimpin perintahnya dalam penjara.
Tindakan ini menyebabkan agitasi yang serius bukan saja dalam tingkat PBB tetapi juga di seluruh Asia Konferensi Asia, yang diadakan di New Delhi, minta Dewan Keamanan PBB campur tangan sekali lagi. Berhubung dengan tekanan dari banyak daerah Dewan Keamanan sekali lagi bertindak. Diperintahkan gencatan senjata dan menyerukan pada Belanda mengembalikan Ibu Kota Republik, Jogjakarta, di Jawa Tengah. Belanda mentaati perintah ini, dan sekali lagi diskusi yang nampaknya tak berkesudahan dengan pemimpin-pemimpin republik dimulai. Bulan Mei mereka setuju Republik dikembalikan sebagai bagian Indonesia Serikat dan bulan Juli, Jogjakarta diserahkan.
Menjelang waktu ini, keributan timbul dengan arah baru: daerah-daerah nonrepublik mulai menekan untuk mendirikan pemerintah sementara sebagaimana diatur dalam perjanjian Linggarjati. Negara Indonesia Timur menjadi pelopornya dan agitasi itu menunjukan bahwa terdapat kecurigaan yang meluas dari republik, dimana kepentingan Jawa predominan, dengan atau tanpa republik. Ini tak berarti bahwa daerah-daerah ingin pemerintah Belanda berlanjut. Nampaknya masalah Indonesia tidak diselesaikan dengan menghadapi republik saja dengan harapan bahwa bagian lain Indonesia akan setia pada perintah.
Ketika tekanan internasional datang, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik Indonesia dan Belanda menyepakati persetujuan Roem-Royen.
[sunting] Konferensi Meja Bundar
Usaha memecahkan dengan kekerasan gagal. Belanda sedih tindakannya membalikkan pendapat dunia, menentangnya Terdapat perubahan perasaan yang tiba-tiba di Holland sehubungan dengan lewat konferensi meja bundar yang akan memuaskan aspirasi rakyat Indonesia. Kemudian konferensi dibuka di Den Haag tanggal 23 Agustus 1949 untuk mengatur penyerahan kedaulatan Pemerintah Nederland, Republik Indonesia dan negara-negara anggota di luar Republik semuanya terwakili dan dibantu Komisi PBB untuk Indonesia. Politik Belanda sekarang akan memberikan kemerdekaan, bukan dengan setengah hati, tetapi seperti dr Van Mook katakan, "dengan maksud baik dan bebas".
Tanggal 2 November persetujuan tercapai. Tanggal 27 Desember pemerintahan sementara negara nasional dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan M Hatta sebagai Perdana Menteri. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara yang memiliki persamaan berteman dengan Kerajaan Belanda.