Pengguna:Syamsul Ardiansyah/Untuk Aceh
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
[sunting] Land Reform untuk Aceh
Dalam pandangan penulis, pemulihan kondisi pasca tsunami harus mampu menyentuh tiga aspek pokok dalam kehidupan sosial masyarakat, yakni aspek ekonomi, aspek politik, dan aspek kebudayaan. Ketiganya saling terkait dan membentuk semacam benteng yang melindungi kelangsungan hidup dan masa depan rakyat, terutama kalangan yang saat ini menjadi korban bencana. Proses pemulihan ini harus secara arif dikaitkan dengan historis masyarakat untuk menopang kesinambungan didalamnya. Aspek inilah yang akan menjadi lanskap utama bagi proses pemulihan.
Mengacu pada pertimbangan di atas, penulis memandang konsep pembaruan agraria memiliki relevansi yang baik untuk menopang upaya penanganan dan pemulihan kondisi pasca bencana. Pembaruan agraria adalah konsepsi yang meletakkan pembaruan kehidupan sosial ekonomi, politik, dan kebudayaan dengan berdasarkan pada pendistribusian kepemilikan sumber-sumber agraria secara adil dan merata. Proses ini yang disebut dengan penataan sumber-sumber agraria.
Pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia dapat mengacu pada ketetapan MPR nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberd Daya Alam, serta Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Di samping itu, terdapat beberapa acuan lain, seperti Undang-Undang Pokok Bagi Hasil dan beberapa keputusan Presiden, seperti Keputusan Presiden No 34 tahun 2003.
Secara teoretis pembaruan agraria menekankan adanya hubungan yang dialektis antara penataan sumber-sumber agraria dengan pembaruan kehidupan sosial ekonomi, politik, dan kebudayaan masyarakat. Dengan asumsi ini, sepintas konsep pembaruan agraria atau lebih populer disebut dengan land-reform sempat dicurigai sebagai program yang khas dengan pemikiran-pemikiran sosialisme. Hubungan dialektis inilah yang melahirkan percepatan dalam perubahan sosial masyarakat.
Meskipun dalam banyak hal, praktik yang meletakkan pembaruan agraria sebagai dasar pembangunan sosial juga diterapkan oleh kapitalisme untuk menopang sistem ekonomi pasar seperti yang terjadi di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Artinya, terlepas dari prasangka politik tertentu, pembaruan agraria tidak bisa disangkal keampuhannya untuk menciptakan landasan yang stabil bagi pembangunan ekonomi.
Mengapa demikian? Pijakan teori dasarnya adalah ekonomi politik, manusia dipandang sebagai segi yang menentukan proses perkembangan dan kemajuan sosial. Karena adanya kontradiksi dengan alam, manusia menemukan alat kerja. Saling hubungan antar berbagai aspek yang utamanya terdiri dari manusia dengan alat kerjanya, menyebabkan manusia senantiasa berpikir untuk memperbaharui alat kerjanya. Pada perkembangan berikutnya, perkembangan peradaban manusia salah satunya ditandai oleh kemajuan alat kerja.
Di samping kemajuan alat kerja, perkembangan peradaban pun ditandai dengan kemajuan pada aspek kelembagaan sosial yang merupakan perpaduan dari beragam nilai yang saling bersaing, berdifusi, berakulturasi, dan berpadu secara dialektis dalam sebuah sistem. Sistem itulah yang dikenal dengan sebutan suprastruktur. Suprastruktur berfungsi menjadi sarana yang mengelola berbagai macam permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia.
Hal pokok yang dikelola oleh sistem nilai atau suprastruktur adalah aspek partisipasi dan distribusi hasil produksi. Oleh karenanya, kelembagaan sosial yang merupakan sebuah sistem nilai yang terpadu secara dialektis itu disebut sebagai hubungan produksi. Dalam kenyataan, tentu saja aspek yang dikelola tidak hanya yang disebut di atas. Namun demikian, keberagaman nilai yang kerap kita temukan tidak menghilangkan dua peranan pokok suprastruktur tersebut.
Konsepsi pembaruan agraria meletakkan pembangunan manusia sebagai poros atau aspek yang diutamakan. Berbeda dengan konsepsi pembaruan “agrikultur”, yang hanya melihat aspek pertumbuhan, pembaruan agraria bukan hanya berorientasi pada pertumbuhan atau peningkatan produksi, melainkan sampai pada usaha untuk mengatur partisipasi dan distribusi hasil produksi. Pembaruan agraria meletakkan usaha membongkar ketimpangan struktur agraria sebagai langkah yang harus didahulukan sebelum memajukan produktivitas. Pasalnya, tanpa adanya usaha untuk membongkar relasi itu lebih dulu, produktivitas tidak akan berarti banyak karena distribusinya tidak merata.
Ketimpangan struktur agraria terjadi akibat adanya monopoli tanah oleh segelintir orang yang bukan kaum tani di satu sisi. Di sisi lain, sangat banyak jumlah kaum tani yang terpaksa berjuang menggarap sebidang tanah sempit dan hidup dalam kondisi yang memperihatinkan. Karena ketimpangan ini, distribusi hasil produksi pertanian (uang maupun berbentuk in natura) dimonopoli oleh pihak-pihak yang tidak bekerja di sektor pertanian.
Distribusi sumber-sumber agraria (tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) secara adil terhadap masyarakat, khususnya kaum tani gurem dan penggarap akan memberikan jaminan adanya partisipasi dan distribusi hasil produksi yang adil dan merata. Dengan demikian, kesenjangan di antara manusia bisa dikikis. Kesempatan untuk memperoleh pekerjaan, penghidupan, pengembangan pendidikan, dan partisipasi politik pun akan merata. Dengan begitu syarat-syarat terlembaganya demokratisasi dalam kehidupan sosial bisa terpenuhi.
Tanah-tanah yang sudah didistribusikan tidak bisa dijual kembali. Apabila pihak pemegang hak tidak mampu mengelola tanah-tanah tersebut, maka kepemilikannya harus diserahkan kepada negara atau kepada institusi lain untuk didistribusikan kepada pihak lain yang membutuhkan. Bila tidak ada pihak yang membutuhkan tanah tambahan, maka tanah yang diserahkan akan dijadikan milik kolektif atas nama koperasi atau institusi-institusi lain dalam masyarakat.
Untuk bisa menjamin kelangsungan dan peningkatan produksi, langkah yang harus segera dilakukan pasca distribusi sumber-sumber agraria adalah dengan menerapkan program produksi kolektif yang terencana. Koperasi-koperasi produksi perlu dibangun. Koperasi-koperasi itu diberi kewenangan dan keleluasaan untuk mengatur jalannya produksi dengan mengedepankan prinsip pemenuhan kebutuhan internal.
Di samping peranan itu, koperasi-koperasi ini juga bisa berperan sebagai institusi yang mensentralisasi hasil produksi sebelum didistribusikan secara adil dan merata ke seluruh anggotanya. Di samping itu, koperasi-koperasi ini juga berfungsi sebagai lumbung sosial yang bertugas mengatur alokasi terhadap kalangan yang tidak mampu berproduksi atau subsidi bagi sarana dan prasarana sosial dan kebudayaan yang dibutuhkan masyarakat.
Untuk menjamin keadilan dan meminimalisasi peluang terjadinya spekulasi dalam pengelolaan koperasi, perlu dibentuk sistem kepengurusan yang memungkinkan seluruh anggota untuk mengawasi kinerja pengurus. Sistem kepengurusannya pun tidak bisa menganut sistem fungsional, melainkan sistem kepanitiaan dengan kepemimpinan kolektif. Kolektif pimpinan ditunjuk pada masa periode tertentu dan harus dipilih kembali pada periode kepengurusan berikutnya. Dari setiap periode, kolektif pimpinan harus mempertanggungjawabkan seluruh pekerjaannya tanpa kecuali secara jujur dan bisa dipertanggungjawabkan. Setiap pelanggaran harus ditindak sesuai kesalahannya dan dikenai sanksi. Sanksi tidak berbentuk semata-mata hukuman, melainkan pendidikan agar tidak melakukan kesalahan di kemudian hari.
Pasca Tsunami
Sebenarnya penulis belum melihat secara langsung kondisi Aceh dan Nias pasca bencana. Namun dari informasi-informasi yang didapat dari media massa cetak dan elektronik, penulis memandang pembaruan agraria bukan hanya relevan, melainkan juga mutlak dilakukan di Propinsi NAD dan Nias (Sumut). Kedua wilayah itu adalah wilayah yang terkena dampak terbesar gempa dan tsunami beberapa waktu lalu. Di kedua wilayah itu, korban jiwa dan kerusakan infrastruktur cukup hebat. Semuanya membutuhkan bukan hanya penanganan dengan kekuatan besar, melainkan juga program yang terpadu.
Aspek-aspek yang mendasari pentingnya pelaksanaan pembaruan agraria adalah sebagai berikut. Pertama, bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh dan Nias menyebabkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur (tempat kerja dan tempat tinggal) yang cukup besar. Bencana juga telah mencerai-beraikan masyarakat pada titik-titik yang berjauhan, meski sebagian sudah terkonsentrasi di kamp-kamp pengungsi. Di beberapa wilayah usaha rehabilitasi sama sekali tidak mungkin dilakukan tanpa pembangunan kembali (rekonstruksi). Sementara dukungan logistik dari pihak luar bagaimanapun sifatnya terbatas dan tidak mampu menjangkau semua pengungsi.
Hal ini menyebabkan turunnya kemampuan produksi masyarakat Aceh dan Nias yang menyebabkan tingginya ketergantungan pada dukungan pihak luar. Oleh karenanya, apabila tidak segera diantisipasi maka persoalan yang diakibatkan bencana akan semakin besar. Usaha yang mendesak untuk Aceh dan Nias saat ini, di samping memberikan penanganan secara cepat kepada korban, juga membangkitkan kemampuan korban dan pengungsi untuk kembali berproduksi.
Kedua, sebagian masyarakat Aceh dan Nias yang menjadi korban bencana adalah masyarakat agraris. Yakni masyarakat yang penghidupannya disandarkan pada usaha mengolah alam secara langsung, baik dengan cara bertani maupun sebagai nelayan. Historis ini didukung oleh keadaan alam yang menunjang sektor pertanian. Dengan demikian, pembaruan agraria akan berfungsi sebagai sarana untuk mengonsolidasi penduduk dan menggerakkan kegiatan usaha pertanian penduduk yang bisa dilaksanakan secara cepat.
Ketiga, selama masa kedaruratan sampai masa rehabilitasi, upaya pemulihan akan bisa berjalan lebih cepat apabila mampu memobilisasi dukungan dan tenaga yang berasal dari masyarakat Aceh dan Nias itu sendiri. Pemulihan itu tidak bisa sepenuhnya disandarkan pada dukungan pihak eksternal karena berbagai keterbatasan, baik ekonomi, seperti jumlah dana yang terbatas atau tingginya ketergantungan pada dukungan pendanaan luar negeri, maupun keterbatasan politik, seperti kekhawatiran atas dampak politik yang ditimbulkan oleh adanya sukarelawan dan pasukan asing di Aceh. Dalam konteks ini, pembaruan agraria dapat menyerap dukungan dan tenaga dari masyarakat Aceh dan Nias yang menjadi korban bencana, sekaligus memberikan arahan programatik terhadap proyeksi pemulihan dan pembangunan pascabencana.
Keempat, khususnya Aceh, masyarakatnya memiliki tradisi kolektif dan keislaman yang kuat. Ini ditunjukkan salah satunya dari penolakan masyarakat Aceh atas keinginan adopsi anak-anak korban bencana. Tradisi ini akan bisa menjadi modal utama untuk melaksanakan kolektivitasi produksi. Hal ini bisa dikembangkan dengan membentuk pranata-pranata yang berperan sebagai “lumbung sosial” untuk menghidupi kalangan masyarakat yang tidak, belum, atau sudah tidak lagi memiliki kemampuan berproduksi, seperti korban cacat fisik, anak-anak, orang tua.
Kelima, pemerintah sendiri memiliki program untuk melaksanakan program pembangunan pemukiman-pemukiman baru bagi korban bencana yang sudah tidak lagi memiliki tempat tinggal atau tempat kerja akibat diterjang tsunami. Dengan mengacu pada rencana ini, pemerintah bisa menjadikan pembaruan agraria sebagai konsep dasar penataan kembali pemukiman penduduk. Dengan demikian, di samping memberi tempat tinggal yang baru, pemerintah juga bisa menyediakan tempat kerja yang memadai sebagai bekal masyarakat untuk melangsungkan kehidupannya.
Aspek-aspek di atas, paling tidak, merupakan beberapa hal yang menyebabkan pembaruan agraria menjadi program yang bukan hanya relevan, tetapi juga mendesak untuk dilaksanakan di Aceh dan Nias. Program ini juga bisa dilaksanakan di wilayah-wilayah pascabencana lainnya di Indonesia, tentunya disesuaikan dengan kondisi alam dan karakteristik penduduk di masing-masing wilayah.
Meski demikian, pembaruan agraria hakikatnya bukan hanya program yang dikhususkan untuk penanganan bencana. Bahkan sebenarnya bukan masalah itu yang menjadi latar belakang atas pentingnya pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia. Ketimpangan struktur agraria dan buruknya penghidupan kaum tani pada umumnya akibat sempitnya lahan yang tersedia diolah menjadi pangkal dari pentingnya pelaksanaan pembaruan agraria. Selain itu, krisis ekonomi dan semakin rendahnya taraf penghidupan masyarakat secara umum, menjadi aspek yang memperkuat perlunya pembaruan agraria untuk Indonesia.
Syamsul Ardiansyah Koordinator Badan Advokasi Rakyat (BAR) Jalan Kihiur No 44 Cihapit, Bandung Email. syamsuladzic@hotmail.com